1. Is it called a 'family'?

48 21 23
                                    

Ruangan luas berwarna putih gading itu terasa sunyi dan suram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan luas berwarna putih gading itu terasa sunyi dan suram. Perabot khas kamar seorang remaja lelaki tak mampu menghidupkannya. Tidak peduli jika kamar itu selalu didekami oleh sang pemilik. Tetap saja keberadaannya gagal mengubah kesan yang ada.

Seperti saat ini, tubuh tinggi kurus mengisi sudut ranjang bersprai abu-abu. Meringkuk tak berdaya dengan lebam di sekujur tubuhnya.

Orang yang melihat pasti mengira kalau sosok malang ini merupakan korban amukan massa, atau mungkin mayat hidup saking pucatnya wajah berhias luka itu.

Hanya nafas samar yang menandakan Tuhan belum berminat membawa dia pulang. Meski hal tersebut merupakan hal yang paling dia harapkan ketika dunia telak memunggunginya.

BRAKK!!

Pintu kayu berbahan pinus kokoh digebrak sekuat tenaga. Disusul oleh seruan kasar seseorang, “ Bangun dasar pemalas! Bangun atau kubakar buku-bukumu!”

Ancaman itu dilontarkan oleh sosok yang sama dengan penyebab sebagian besar luka di tubuh ringkih remaja tadi.

“ Hei! Kau tuli? Atau hanya pura pura tidak dengar?!”

Pria berwajah dingin yang usianya terpaut sepuluh tahun dari pemilik kamar bersuara kembali, tentu tak kalah kencang dari sebelumya.

Bahkan pelayan di dapur di lantai bawah mampu mendengar jelas bentakan –bentakan itu lantas bergidik ngeri sendiri.

Kenyataan bahwa dua orang tersebut merupakan saudara kandung tidak berpengaruh sedikitpun atas perlakuan kejam si sulung pada bungsunya.

Darah memang lebih kental dari air. Namun api kebencian Nolan mampu membuatnya menguap tak bersisa.

Perlahan, mata sang adik mengerjap. Bukannya dia pura pura tidak dengar, apalagi tuli. Ia bahkan sudah mendapat isyarat dari rungunya sejak langkah kaki Nolan baru menapaki tangga. Yang membuatnya tetap bergeming tak lain ialah kepalanya yang terlampau sakit. Meski hanya sekadar digunakan untuk menoleh.

“ Riki! Kau dengar tidak, sih?!”

Kesal karena merasa diabaikan, Nolan mendekat ke tubuh Riki yang masih setia meringkuk memunggunginya di sudut terjauh ranjang.

Kemudian, tanpa rasa iba, Nolan menambah rasa sakit di tubuh Riki dengan melayangkan pukulan keras ke bahunya.

Riki menggigit bibir kuat kuat menerimanya. Menahan diri supaya tidak memekik walaupun rasanya sakit sekali.

Berkali-kali mendapat perlakuan seperti ini, menjadikan Riki selalu berharap sakit yang dia rasakan tiap mendapat siksaan fisik bisa pergi dari dirinya. Dengan begitu, mau dipukul sampai kakaknya puas pun Riki tidak perlu memaki diri sendiri karena rasa sakit sialan tersebut.

" Bangun sialan! Kau mau mengabaikan aku?!”

Akhirnya, setelah mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa, Riki berhasil mengeluarkan cicitan kecil.

highway 1009Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang