Bab 1 - Aku, Sakala Sendu

59 9 0
                                    

Hujan mulai mereda, dinginnya angin hujan sangat terasa. Disini Sakala Sendu berada. Di sebuah toko bunga, dekat sekolahnya.

Sendu sering sekali mampir ke toko bunga itu, hanya sekadar membeli 1 tangkai bunga untuk di hirup nya. Sendu suka sekali dengan aroma bunga.

Panggilan telepon seluler menggema, ia mengambil handphone nya, terlihat seseorang menelpon nya. Dengan segera Sendu mengangkat nya, suara keras terdengar dari telepon nya.

"Cepat pulang" hanya itu yang ia ucap kan, singkat namun serius.

Dengan cepat, Sendu berlari ke arah halte untuk cepat sampai ke rumahnya. Ini yang selalu Sendu lakukan, pulang tidak boleh lewat dari jam 4 sore.

Sendu duduk di salah satu kursi dekat jendela, memandangi hujan yang masih turun. Ia selalu mengingat bagaimana bahagianya ia kecil.

Hujan sudah reda, Sendu berjalan pelan menikmati keindahan selepas hujan. Memandangi bunga yang mekar.

Melewati rumah tiap rumah, berharap menjadi salah satu pemilik rumah yang indah itu. Namun, ketika ia melewati rumah hangat yang pernah ia kunjungi itu. Terlihat terang dan hangat, menandakan sang pemilik sudah pulang.

Dengan senyum kecil, Sendu melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah. Rumah itu sebenarnya biasa saja, namun bagi Sendu sangat menyeramkan, seperti rumah yang tak layak huni.

Sendu membuka pelan pintu rumah, harap tidak ada orang di rumah. Namun sebuah sepatu mengenai kepalanya, Sendu mengaduh, jangan terlalu keras ya Sendu.

"Sudah jam berapa ini?" Tanya seorang wanita yang sudah berumur.

"Maaf ibu, tadi hujan lebat jadi Sendu meneduh dulu" jawabnya.

Bukannya mendapat respon baik, Ia di lempar gelas kaca hingga mengenai kepalanya, rasanya sakit tapi ia tidak boleh menangis, jika tidak ingin tidur di gudang.

"Saya ga butuh jawaban kamu, ini bukan rumah kamu. Jadi kamu harus taat pada peraturan rumah ini, Sakala" ucap wanita itu lantang dan menunjuk ke arah Sendu.

"Maaf ibu" jawab Sendu pelan, sangat pelan.

"Ingat, jangan pernah kamu berhubungan dengan orang yang ada di samping rumah itu, awas aja" wanita itu lagi lagi melempar gelas kaca ke arah Sendu.

Sendu hanya menunduk, luka nya saja belum mengering sudah di beri luka baru. Air matanya perlahan jatuh, rasanya sakit, dadanya sakit, mengapa harus ia yang mengalami hal ini? mengapa harus Sakala Sendu anak kandung ibu yang mendapatkan semua ini?

Kapan hidupnya berubah? kapan ia merasakan bahagia kembali? kapan dirinya tak merasakan sakit lagi.

Lelah, Sendu lelah akan semua ini, ingin rasanya Sendu menyerah, tapi Sendu masih punya satu impian lagi, Sendu ingin melakukan itu, sebelum dirinya pergi.

Air mata yang ia tahan untuk tidak turun malam ini tidak lagi terbendung, rasanya terlalu sakit jika di pendam.

                                 ⋆ ˚。⋆୨୧˚。⋆                                      

Rasa lapar terus menggeliat di perut nya. Matanya mulai menitikkan air mata. Dalam tangis nya yang pelan ia teringat perkataan ibu nya, tapi kepedihan itu membuat dirinya untuk  memejamkan mata.

Pagi harinya, terdengar suara pecahan kaca yang membangunkan nya. Sebuah gelas di lempar ke arahnya.

"Bangun! Kamu pikir kamu bisa seenaknya di rumah ini?!" Suara ibunya dengan penuh amarah. Dengan mata sembabnya, Sendu memandang ibunya di ambang pintu, tatapannya penuh amarah.

"Hari ini kamu ga usah berangkat sekolah! Dan jangan sekalipun kamu kamu keluar dari rumah sebelum saya pulang" Kata ibunya penuh dengan ancaman sebelum ibunya menutup pintu dengan keras. Sendu merasakan  perih di hatinya.

Sendu duduk di lantai kamar dengan lap di tangannya, mencoba membersihkan gelas kaca yang di lempar oleh ibu nya tadi. Air matanya mengalir terus tanpa henti. Setiap sudut rumah yang ia bersihkan terasa semakin berat, seolah setiap bagian rumah ini menyimpan rasa sakitnya.

Sejujurnya Sendu sudah biasa mengalami hal seperti ini. Setiap lemparan, setiap teriakan, dan setiap ancaman sudah menjadi bagian hidupnya.

Luka luka di tubuhnya pun sering ia biarkan tidak di obati. Bekas pukulan dan goresan hanya mengering begitu saja, meninggalkan tanda tanda yang seolah menceritakan kisah hidupnya yang sunyi dan penuh penderitaan.

Seringkali, ia hanya duduk diam di sudut rumah, memandang luka lukanya dengan tatapan hampa.  Ia tak merasa perlu merawatnya, seakan luka luka itu hanyalah refleksi dari hatinya yang hancur. Hanya kesepian yang menjadi teman setianya, menemani setiap langkah, setiap malam yang di lalui tanpa pelukan hangat seorang ibu.

Rumah Sendu | ShinjaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang