Aku sudah sangat tidak sabar untuk pulang berjumpa dengan Bapak, Ibu dan Mbah tentunya untuk mengucapkan terimakasih, bahkan sisa tiga jam berada di dalam kelas aku lalui dengan sangat semangat, kabar Amel barusan adalah kabar paling bahagia.
" Nah begitu dong Pak Hanif, sekarang keliatan seger banget " ucap Pak Indra, ketika berjalan ke arah parkiran motor bersamaku.
" Ah bisa saja Pak Indra ini... yuk Pak aku duluan buru - buru " jawabku.
" Tumben banget Pak " jawab Pak Indra sambil bercanda.Andai Pak Indra tahu atau mengerti, mungkin akan memaklumi sikapku yang berubah seketika, seperti siang ini.
" Iyah aku harus mengesampingkan kabar yang aku ketahui dari orang - orang soal Teh April yang bersekutu, karena meninggalnya Nina, tidak ada kaitanya dengan susah mempunyai anak... " ucapku, sambil kembali merasakan ketenangan, ketika melewati setiap jalan yang akan membawaku pulang ke rumah.Bapak, Ibu dan Mbah terlihat sedang berbicara serius di depan rumah, bahkan pintu tua rumah aku melihatnya, baru terbuka sedikit.
" Assalamualaikum " ucapku, sambil memarkirkan motor.
Langsung aku mencium tangan Bapak, Ibu dan Mbah satu persatu dan duduk di kursi, sambil menbuka sepatu.
" Abah saja yang bilang, Ibu dan Bapak ikut saja " ucap Ibu perlahan.Namun aku melihat matanya Ibu sembab, seperti baru saja selesai menangis.
" Ibu kenapa? " tanyaku.
Ibu hanya tersenyum saja, sambil tanganya mengelap beberapa air mata yang masih tersisa di pipinya.Kabar dari Amel tidak sama dengan keadaan rumah, apalagi Bapak tidak biasanya, langsung masuk ke dalam rumah, di ikuti juga oleh Ibu.
" Ada apa Mbah? " tanyaku.
" Sudah biasa, masalah biaya saja ini untuk pernikahan kamu Nif... tapi jangankan sebidang atau dua bidang tanah yang haru mbah jual, andai kata nyawa sekalipun, Mbah berikan untuk kamu, ini amanah dulu dari buyut Ali pada Mbah, dulu juga Ibu kamu menikah dengan Bapak kamu, Mbah harus melalukan hal yang sama, harusnya kamu masih ingatkan cerita bagaimana Buyut Ali... " ucap Mbah.Sayangnya cerita Buyut Ali yang sampai saat ini aku ingat tentang " Kacai lauk nyarampekeun, ka leweung janten meong oren nu ageung " ( Ke air ikan ikan mendekat, ke hutan menjadi kucing oren yang besar ) yang sampai saat ini, tidak tahu kenapa aku sangat percaya cerita itu.
" Cepat salin pakaian kamu Nif, biar tidak terlalu sore, antar Mbah pulang ke kampung, mau ke rumah Haji Agus, biar tenang kalau sudah pegang uang... " ucap Mbah.
" Hanif masih kepikiran Ibu dan Bapak Bah " jawabku.
" Tidak apa - apa mereka sedang merasa bersalah saja, lagian rasa itu tidak akan mengubah keadaan Nif... " jawab Mbah.Perjalanan menuju rumah Mbah di kampung tidak terlalu jauh hanya satu jam saja dari rumah, sepanjang jalan nasihat - nasihat Mbah yang aku dengarkan terus menerus, dan tidak pernah membuat aku merasa bosan dengan nasihat itu.
Setelah keluar dari jalanan kampung, aku memasuki jalan utama iyah, sebuah jalanan menanjak mengelilingi bukit, samping kanan tebing dan kiri jurang, bahkan jika malam hari motor dengan pencahayaan yang kurang akan sulit melewati jalan ini.
" Khawatir mbah bukan pada pernikahan kamu dengan Amel... ada sedikit yang mengganjal pada Kakaknya, April mungkin ini juga sudah waktunya... " ucap Mbah, ketika baru saja motor yang aku kendarai berhenti, tepat di depan rumah Mbah.
" Maksudnya Mbah akan sama dengan pemikiran Bapak dan Ibu " jawabku, sambil mengikuti langkah mbah, masuk ke dalam rumah.Mbah tidak menjawab lagi ucapanku, Mbah langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya, sementara aku menuju dapur yang biasa digunakan Mbah beristirahat santai, atau sekedar mendengarkan berita melalui radio tuanya.
" Ini pegang dan simpan... ini Mbah serahkan kepada kamu, setidaknya bisa merasa tenang, walaupun terlalu awal... tapi tidak apa - apa, sudah waktunya... " ucap Mbah, sambil duduk dan menyimpan gelang gengge berwarna EMAS tua di atas meja.
" Bah ini apa? inikan gelang gengge yah, yang suka dipakai disini... atau engga sama binatang, eh bener nggak " tanyaku sambil penasaran, sambil menunjukkan pergelangan kaki, apalagi melihat wajah Mbah sudah berkeringat, padahal sejak turun dari motor terlihat biasa saja.
" Iyah itu gelang gengge, dari emas asli itu, dulu Buyut Ali memberikan ini pada Mbah, tepat 3 hari sebelum meninggal, dan sekarang mbah serahkan kepada kamu Nif, anggap saja bekal untuk nanti berkeluarga dengan Amel, benar Mbah khawatir sekali pada April... " ucap Mbah.
" Bah ini untuk apa maksudnya " ucapku makin penasaran, apalagi nama Buyut Ali, sudah Mbah sebutkan barusan.
" Suaranya akan keluar seperti ini, Buyut datang... " jawab Mbah sambil menggerakan gelang genggenya, sementara keringatnya semakin mengucur.
" Ada kaitanya dengan April? " tanyaku tiba - tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersekutu
General FictionPerjalanan seorang Dosen muda Hanif, untuk menikahi Amelia Putri Sanjaya memiliki kendala, karna keluarga Sanjaya yaitu Ayah dari Amel memiliki berita yang sangat buruk, akankah semuanya itu benar ? mari kita dengarkan saja.