Part 6

0 0 0
                                    

ini lanjutan dari Part sebelumnya.

" Sudah Bapak jangan terlalu berpikiran aneh apapun, iyah Hanif nanti akan tanyakan pada Mang Adam, nanti juga Hanif bicarakan lagi dengan Amel, itukan setelah menikah Pak " ucapku yang harus benar benar paham pada kecemasan Ibu dan Bapak.

Bapak tidak menjawab lagi, hanya berdiri berjalan ke arah dapur.
" Ini yang Ibu takutkan dari dulu, ketika kamu mau menikahi Amel " ucap Ibu, menatap ke arah mataku.
" Tapi Bu... " jawabku.
" Iyah sudah, mungkin ini juga sudah jalan gusti Allah, untuk kamu Nif " ucap Ibu, benar - benar pasrah.

Kemudian mengikuti Hana masuk ke kamar, dengan kucing oren yang masih saja Hana memangkunya.
" Na, itu kucingnya kotor jangan di bawa ke kamar " ucap Ibu, sambil berdiri.
" Engga kok Ibu, sudah di bersihin sama Aa Hanif barusan " jawab Hana.

Nafas yang keluar dari hidungku semakin perlahan, " Benar, nantinya hal ini akan jadi masalah ", Terus saja kepalaku berpikir, agar menemukan jalan keluar terbaik, menolak rencana Teh April dan Amel soal kepindahan nantinya ke rumah itu. Namun di sela - sela pikiranku, aku melihat kamar Hana, pintu kamarnya belum tertutup dan lampunya masih menyala.
" Bukan, itu bukan kucing yang sama " walaupun, pandanganku ke arah kucing oren itu, di balas dengan kepalanya yang perlahan berbalik, melihat ke arahku yang berada di meja makan.

Jalan satu terbuka, sebagai langkah selanjutnya jalan lain juga terbuka, sebagai langkah selanjutnya jalan lain juga terbuka, sebagai masalah yang akan datang kepadaku, siap tidak siap harus aku hadapi.

Setelah meminta petunjuk satu - satunya dalam sujud ibadahku malam ini, ketenangan perlahan datang, aku sadar semuanya sudah gusti Allah siapkan. " Jalani saja ".
Badanku sudah terbaring  di atas kasur, lampu kamar sudah aku matikan, apalagi terdengar, langkah kaki Bapak masuk ke dalam kamarnya, setelah memastikan semua lampu yang ada di rumah, artinya waktu istirahat sudah datang.

" Besok aku mulai urus semua izin ke sekolah tinggi yah Mel, semoga lancar semuanya " pesan aku kirim, walaupun aku yakin tidak akan di balas lagi oleh Amel, langsung menyimpan handphone di dekat bantal.

mataku perlahan terpejam, bayang bayangan kesulitan yang awalnya aku jalani, kini perlahan berganti dengan kemudahan yang akan segera aku lalui. Baru saja beberapa menit terlelap, terdengar nada pesan handphone berbunyi.
" Tumben Amel jam segini balas, apa besok tidak ke toko Teh April " .
" Iyah Hanif, Amin. Besok aku mau ke kota pesan undangan, juga perlengkapan lainnya dengan Teh Merlin, Teh April juga ngurusin yang lainnya sama Mama dan Ayah, Satu lagi, siapin pagi berkas - berkas lamaran kamu yah, Pak Sugeng sudah nanyain, tadi ke rumah mau bicara sama aku, mau di kasih ke yang punya kampus di kota, besok aku ambil ke kampus "
balasan pesan Amel, yang seperti biasanya selalu panjang.
Membaca pesan balasan Amel berkali kali, barulah aku paham, bahwa rencana keinginan Amel pindah ke kota tidak main - main lagi, apalagi suaminya Teh April, sudah menanyakan hal kepindahanku menjadi mengajar nantinya.

Hanya cahaya putih dari layar handphone saja yang sekarang aku lihat, dari gelap nya kamarku saat ini.
" Kreket... "
" Astagfirullah " ucapku, sambil melihat ke arah pintu, perlahan terbuka dengan sendirinya, secara perlahan,
" Kreket... "
Aku benar - benar kaget, apalagi aku tidak melihat apa - apa, hanya mengarahkan cahaya dari handphone, ke arah pintu.
" Ya Allah kirain apa, kucing Hana ternyata " hanya cahaya yang kuning aku lihat, perlahan berjalan ke arah kasur, anehnya, tatapannya melihat ke arahku dengan sangat tajam.

Perlahan, terlihat bulu - bulu oren pekatnya, terus berjalan ke arahku dan cahaya handphone, sementara badanku masih setengahnya terbangun.
Aku di buat kaget kedua kalinya, kucing oren yang sedang aku lihat, tiba tiba melompat naik ke atas kasur, pandangannya tidak pernah lepas melihat ke arahku. " Pengen tidur di sini kali " sambil aku pegang, aku pindahkan agar diam di ujung kasur, namun matanya tetap melihat terus ke arahku tidak pernah berpaling, karena sudah mengantuk juga, apalagi harus mempersiapkan berkas pagi nanti, yang akan Amel ambil, perlahan kembali terlelap, mengabaikan keberadaan kucing oren itu.

***

Aku melihat seorang anak, bermain dengan sangat lucu di deket pohon samping rumahnya, ketika motorku baru saja berhenti. Aku taksir usia anak itu mungkin 5 tahun, dengan rambut panjang yang terurai indah sedang memegang satu boneka, pandangaku hanya di batasi pagar besi.
" Lucu sekali anak itu ", dari arah rumah berjalan seorang Ibu menggunakan baju putih, yang keliatan masih sangat muda, berjalan dengan sangat cepat ke arah anak itu, tatapan nya sangat marah, wajahnya benar - benar merah, jalanya semakin cepat.
" Nyeri, tulungan leupaskeun, tulung... "
( Sakit, tolong lepaskan, tolong )
teriak anak itu berkali - kali, dengan sangat kencang, karena tiba tiba Ibunya menjambak rambutnya, lalu menyeret dengan kencang sekali.

Aku yang sangat kaget melihat kejadian itu langsung turun dari motor, berjalan dengan cepat mengikuti ujung pagar rumah, supaya masih bisa melihat dengan jelas.
Anak itu di serahkan kepada wanita tua, yang aku pikir itu adalah Neneknya, aku masih melihat dengan jelas, sementara teriakan anak itu berganti dengan tangisan yang sangat kencang sekali.

Ketika anak itu di bawa masuk ke dalam, sementara pintu langsung di tutup dengan keras, tiba tiba sepersekian detik aku mendengar suara teriakan jauh lebih kencang  dari sebelumnya, " Nyeri ampun " ( Sakit ampun ), seketika dari jendela dalam rumah darah berceceran, aku sangat jelas melihatnya, darah yang cukup banyak, berbarengan dengan itu, teriakan anak itu tidak aku dengar lagi.

Detak jantungku terasa berhenti, aku melangkah cepat untuk masuk ke dalam halaman rumah itu, namun tidak tahu dari mana datangnya, kucing oren menghalangi langkahku dan mengeluarkan suara seperti marah
" Meogggrrhhh " tatapannya sangat tajam, seperti menghalangi langkahku, untuk semakin mendekat ke rumah tua itu.

***

" Sudah adzan subuh, Ibu lihat belum ke kamar mandi, bangun Nif " ucap Ibu, sambil menepuk lenganku.
" Bu... " jawabku, dengan nafas yang sama sekali belum tenang, bahkan tetesan keringat di wajahku benar - benar aku rasakan.
" Sana mandi, subuhan takut keburu akhir waktunya " ucap Ibu, sambil berjalan keluar kamar.
Aku langsung terdiam, masih mengingat kejadian di mimpi itu dengan jelas " Sadis sekali, tega " , anehnya wajah cantik dan rambut indah anak kecil itu masih aku ingat jelas, sementara aku baru sadar kucing di mimpi itu, sama persis dengan kucing Hana, semalam aku letakan di ujung kaki. " Malah tidak ada ", aku masih diam, memikirkan mimpi itu, berharap itu bukan pertanda yang akan datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BersekutuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang