Dua

42 12 6
                                    

.

Hukuman yang didapati Taufan adalah lari dua puluh putaran keliling lapangan basket yang lumayan luas. Dan gara-gara itu, sepatu Taufan jadi rusak. Sol sepatunya lepas dan tidak bisa dipakai lagi.

Tak berapa lama Hali datang. 

Dia menghampirinya sembari menyodorkan sebotol minuman isotonik.

Taufan duduk di sisi lapangan. Kakinya diluruskan dan napasnya masih terengah. Minuman dari Hali tak kunjung diambilnya. Taufan menolaknya dengan mengangkat tangan tanpa memandang wajah Hali. 

Hali pun menarik botol minumannya dengan kecewa. Kejadian kemarin terngiang kembali di kepalanya. Dan sampai hari ini Hali masih merasa bersalah. 

"Pulang latihan nanti kita mampir ke toko sepatu, ya. Sepatumu sepertinya rusak," ajaknya memulai pembicaraan. Matanya sempat melirik sepatu Taufan yang rusak.

Taufan diam untuk beberapa saat, sebelum kemudian menjawab singkat, "Maaf tidak bisa."

"Kenapa? ... Sepatumu rusak dan perlu diganti, Taufan."

"Aku masih ada sepatu cadangan," jawab Taufan yang mulai sibuk memijit kakinya.

Melihat Taufan yang tampak enggan bicara padanya, membuat Hali semakin dirundung rasa bersalah. Apakah Taufan marah padanya?

Hali memutuskan berjalan mendudukkan diri di samping Taufan. "Yang kemarin itu ... maaf ya. Harusnya aku tak mengajakmu bolos."

Barulah Taufan menoleh pada Hali. Dilihatnya Hali menunduk sambil memainkan botol minumannya. Memang sabenarnya Taufan tuh masih kepikiran perihal perkataan Pak pelatih kemarin yang begitu menganak emaskan seorang Hali. Tanpa sadar hal itu membuat Taufan jadi ingin menjaga jarak dengan Hali.

Kalau dipikir-pikir Taufan harusnya tak perlu menjauhinya. 

Taufan pun menghela napas. Ia mencoba melupakan kejadian kemarin. "Gak perlu minta maaf. Aku gpp kok."

"Tentu saja aku perlu meminta maaf padamu. Kalau saja kita tak jadi bolos, pak pelatih tidak akan memarahimu. Dan lagi ... Aku sebal juga dengan Pak pelatih itu. Dia tidak adil memperlakukanmu begini. Seharusnya dia—"

"Hali," sela Taufan cepat. 

Hali menghentikan perkataannya. Ia menatap Taufan yang lagi-lagi mengukir senyuman datar. 

"Tolong jangan bahas itu lagi yah,” ucap Taufan kemudian. 

Dan Hali pun mengerti itu. Setelahnya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Priiiit! Priiiiit!

Bunyi peluit dari sudut lapangan begitu memekakan telinga. Semua pasang mata langsung tertuju ke arah datangnya suara. Ternyata berasal dari kakak kelas yang menjabat sebagai kapten basket.

"Woii semuanyaaa! Kumpul siniii!" seru kakel tersebut. 

Tanpa menunggu waktu lama, anak-anak basket segera berkumpul mengelilingi si kapten. Begitu juga dengan TauHali.

Beberapa di antara mereka berbisik. Mempertanyakan perihal apa yang akan dikatakan oleh kapten mereka.

"Nah, kalian semua dengarkan baik-baik. Bulan depan nanti akan diadakan turnamen inter hight. Maka berdasarkan hasil diskusiku bersama pak pelatih, minggu depan dilakukan seleksi dan dipilih sepuluh orang untuk mengikuti turnamen sebagai pemain inti dan cadangan. Nah, karena itulah kalian harus berlatih semaksimal mungkin untuk seleksi nanti ya!"

“Wah, kayaknya seru tuh ikut turnamen,” gumam Taufan. Ia jadi ingin mengikuti turnamen. 

"Mau ikutan?" tanya Hali kemudian. 

Taufan pun bilang sambil tersenyum. "Aku ingin ikut dan jadi pemain inti. Kalau kau sendiri bagaimana?”

"Kalau kau ikut, aku juga mau ikut." Hali mengedikkan bahunya. Hali sendiri tidak begitu peduli dengan turnamen tersebut. Tapi melihat Taufan tampak tertarik gitu, yaudah Hali pen ngikutin aja. 

"Oh, gitu." Taufan mengangguk. Ia menyodorkan kepalan tangannya ke arah Hali. 

"Nah, kalau begitu mari kita sama-sama berjuang, Hali."

Hali menatap kepalan tangan Taufan sejenak, lalu beralih ke tatapan penuh determinasi di sepasang mata biru itu. Dan Hali pikir Taufan sudah tak mempermasalahkan kejadian kemarin itu. 

Maka Hali membenturkan kepalan tangannya ke tangan Taufan.

...

.. 

Mulai hari itu latihan basket jadi lebih intens. Tautan memasuki kamarnya dengan lelah dan letih. Ia begitu berjuang keras dalam latihan supaya bisa ikut turnamen. 

Dilemparnya tas sekolah ke atas ranjang. Taufan menyambar handuknya di dekat pintu kamar mandi.

Tak perlu membutuhkan waktu lama, Taufan keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk di sekitar pinggangnya. Ketika menyalakan lampu kamar, ia dibuat terkejut begitu mendapati sosok bayangan hitam yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya.

"Waaaaaa!! Ada hantuu!!” Serunya panik.

“Bukan anjr! Ini akuu!” Balas si ‘hantu’ di jendela itu. Yg ternyata adalah Hali.

“Owh, kukira. Kau membuatku kaget saja." Taufan mengelus dadanya gara-gara kaget tadi. 

"Taufan, cepat buka jendelanya! Diluar sini dingin."

“Siapa pula yang menyuruhnya berdiri di luar jendela begitu.”

Taufan melangkah mendekati jendela dan membukanya. "Kebiasaan. Ini lantai tiga, loh. Nanti kalau kau jatuh bagaimana?"

Hali mengedikkan bahunya mendengar omelan Taufan. Dia lebih memilih melompat masuk dan langsung merebahkan diri di atas ranjang.

Taufan menutup jendela dan segera melangkah ke arah lemari pakaiannya.

Dulu semenjak SMP, sabenarnya Hali punya kebiasaan menyusup masuk ke kamarnya lewat jendela. Yang kadang sering membuat Taufan kaget, karena mengira sosoknya adalah setan. 

..
.

The Wishing ⭐Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang