oOo
"ERIS!"
Jeno terbangun dengan gerakan cepat sambil menyerukan nama sahabatnya, Eris. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan gerakan gelisah, mencari keberadaan Eris yang tidak ia temukan diantara tiga manusia yang berdiri mengelilingi ranjang tempat tubuhnya terbaring sambil menatapnya khawatir. Jeno masih bernapas dengan irama yang cepat saat tangannya digenggam lembut oleh sang nenek yang berdiri tepat disisi kirinya.
"You're safe, Jeno.. luka mu juga sudah diobati." Ucapnya lembut, membuat napas Jeno berangsur angsur kembali normal dan tenang.
"Naik sepeda aja jatuh, lo nggak pernah belajar naik sepeda?" Mario bertanya dengan nada meremehkan.
Jeno menoleh, mengalihkan pandangannya pada laki laki itu. Mendengar hal tersebut entah mengapa membuat emosinya tersulut, ekspresi Jeno berubah menjadi masam, Mario benar benar menyebalkan baginya, entah saat masih remaja atau sudah menjadi ayahnya, Jeno benci keduanya, mereka tetaplah satu jiwa yang sama meski berada di zaman yang berbeda. Jeno bangkit dari ranjang, berdiri dihadapan Mario dan berkata dengan suara tinggi yang sedikit membentak, "Emang nggak pernah! Makanya lo kalau punya anak jangan ditelantarin, minggir! Gue mau keluar."
Jeno menubruk kasar bahu Mario sampai arah tubuh laki laki itu berubah. Kakek dan nenek menatap keduanya dengan tatapan bertanya juga khawatir. Keduanya kemudian menatap sang putra sulung, "Kamu habis ngelakuin apa ke dia?" Tanya nenek.
Mahesa melotot sambil menaikkan kedua alisnya seraya menunjuk dirinya sendiri, "Aku? Ngelakuin apa ke dia? Dari pertama kali ketemu anak itu juga dia emang aneh, suka ngomong hal hal yang nggak jelas, sekarang malah tiba tiba marah, padahal aku cuma nanya kenapa dia naik sepeda aja jatuh kayak nggak pernah belajar naik sepeda, malah nasehatin kalau aku nanti punya anak, orang gila." Mario mencibir pada akhir kalimat panjang lebarnya sebelum ia ikut beranjak dari kamarnya, menyusul sang adik yang telah menunggu dirinya sejak tadi untuk menyantap ikan hasil tangkapan ayah mereka.
oOo
Jika seandainya ayahnya bertanya, mana yang lebih Jeno sayangi? Papi atau Mami? Maka saat itu pula, dengan kesadaran penuh Jeno akan menjawab dengan lantang dan yakin bahwa ia lebih menyayangi Om Tera daripada mereka berdua. Tera mengurusnya dengan jauh lebih baik daripada wanita yang melahirkan dirinya. Jeno mengingat bagaimana pria itu selalu menayakan kabar dan hari hari yang telah ia lewati, boro boro papi sama mami kaya gitu, mereka dirumah saja bisa dihitug jam.
Yang ia tahu—Tera adalah teman dekat Mario sejak keduanya masih sama sama berada di bangku SMA, jadi tentu saja ditahun ini ayahnya telah berteman dekat dengan Tera. Jika Jeno menemuinya sekarang—yang pertama akan ia lakukan adalah memeluk tubuh tinggi nan ramping pria itu. Jeno benar benar merindukan pria itu, tempatnya berkeluh kesah setelah Eris.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME TURNER
Fanfiction-𝐟𝐭. 𝐌𝐚𝐫𝐤 & 𝐉𝐞𝐧𝐨 ❝Andai gue bisa pergi ke masa lalu buat bikin mereka nggak berjodoh.❞ Malam itu Jeno mengucap dalam hati seperti itu sambil memejamkan mata, merasakan sakit yang luar biasa menggerogoti tubuhnya, kemudian tawa sarkas kelu...