1st. Kembali ke Masa Lalu

120 24 1
                                    


oOo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

oOo

[ Jakarta, Indonesia — 1995 ]

Saat merasakan tubuhnya menyentuh rumput rumput kecil yang menjadi alasnya—Jeno menghembuskan napas lega. Ditambah dengan semilir angin sepoi sepoi yang menyapa wajah tampannya serta meniup helai rambut hitamnya yang telah memanjang hingga menutup dahi—membuat Jeno semakin yakin bahwa ia telah tiba di Surga. Tempat dimana dirinya tidak akan lagi nerasakan penderitaannya dahulu selama di dunia.

Walau terbesit sedikit perasaan menyesal karena ia tidak sempat berpamitan pada Eris hari itu, teman dekat satu satunya itu pasti kini sedang sibuk menangisi dirinya, Jeno tidak ingin kepedean tapi mengingat orang tuanya tidak akan menangis untuknya membuat dirinya berharap jika ada satu orang saja yang bersedih atas kepergiannya.

"Tck! Brengsek.." Jeno menggumam, mengutuk pelan penuh penekanan, amarah kembali datang dan hinggap di dadanya kala ia mengingat momen terakhir apa yang ia lihat di kamar Papi sebelum akhirnya penyakitnya kambuh dan ia meninggal. Jeno tidak akan bisa lupa bagaimana kurang ajarnya perawat wanita itu menggoda ayahnya diatas ranjang kedua orang tuanya dan bagaimana sang ayah malah menikmati itu.

Jeno tidak akan pernah memaafkan mereka.

"Woi!! Jangan tiduran di rumput, nanti disapu sama tukang kebun!"

Jeno terlonjak. Ia terbelalak dan bangun dengan tergesa gesa. Bagaimana tidak terkejut? Memangnya di surga masih ada tempat yang kotor sampai harus ada tukang kebun? Kebun siapa yang harus dibersihkan?! Namun ketika kemudian ia menoleh dan menemukan seorang laki laki yang tampak seumuran dengannya atau bahkan lebih tua beberapa tahun itu—Jeno semakin kebingungan.

Jeno akhirnya berdiri dan berjalan sangat pelan mendekat pada sosok lelaki yang baru saja meneriaki dirinya. Wajahnya mirip seseorang tetapi Jeno tidak bisa mengingat siapa orang itu, setelah menatap wajahnya lamat lamat sambil mengernyit—manik Jeno perlahan turun ke bawah, tepat pada jas putih bersih khas seorang dokter yang hanya diselampirkan pada pergelangan tangannya. Lagi lagi matanya terbelalak untuk yang kedua. Pasalnya Jeno membaca sebuah nama yang benar benar tidak asing, tersemat pada jas tersebut.

Mario Artajuna K.

Bagaimana dia bisa melupakan nama yang sangat ia benci itu? Nama ayahnya sendiri.

"Papi?!? Kok papi bisa disini?! Papi mati juga?!"

Laki laki dihadapan Jeno itu langsung mendelik galak dan menoleh ke kanan lalu ke kiri sambil menutup bibir Jeno menggunakan telapak tangannya, "Ngaco anjing, siapa yang barusan lo panggil papi?! Gue masih suci ya, lagian kita kayaknya seumuran, gue nggak setua itu!" Ucapnya galak.

TIME TURNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang