Bab 2 Awal Sebuah Perjalanan

0 0 0
                                    

Happy reading...

Pagi yang tenang diisi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sarah duduk di ruang tamu sambil memegang mushafnya, meresapi setiap kata yang ia baca. Hati dan pikirannya kini lebih tenang setelah pertemuannya dengan Fahmi beberapa hari lalu. Ada sesuatu tentang Fahmi yang membuatnya merasa bahwa mungkin, ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang selama ini ia nanti.

Di sisi lain, Fahmi juga tak bisa menghilangkan bayang-bayang pertemuannya dengan Sarah. Ia selalu percaya bahwa jodoh adalah takdir yang tak terhindarkan, dan kini ia merasa langkah-langkah takdir itu mulai jelas terlihat. Setelah shalat Dhuha pagi itu, Fahmi memberanikan diri untuk menelepon Sarah, meminta izin untuk berbicara lagi. Suara dering telepon terdengar di rumah Sarah, dan ia segera mengangkatnya.

---

"Assalamu'alaikum, Sarah. Bagaimana kabarmu hari ini?"

Sarah tersenyum, meski tak terlihat "Wa'alaikumussalam, Fahmi. Alhamdulillah, aku baik. Bagaimana denganmu?"

"Alhamdulillah, aku juga baik. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak keberatan jika kita bertemu lagi. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan, khususnya tentang langkah-langkah ke depan jika kamu merasa nyaman."

Sarah terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud Fahmi. Meskipun ia baru mengenal Amir, keseriusan pemuda itu sudah tampak jelas dari awal. Sarah bukan tipe orang yang mudah mempercayai, tetapi ia juga bukan seseorang yang menolak kebaikan.

"Aku tidak keberatan, Fahmi. Aku juga berpikir kita perlu saling mengenal lebih dalam, agar bisa melihat apakah ini jalan yang tepat bagi kita."

"Terima kasih, Sarah. Aku ingin kita jujur satu sama lain sejak awal. Pernikahan adalah hal yang besar, dan aku ingin kita memulai dengan niat yang tulus, tanpa ada yang disembunyikan. Apa kamu bisa bertemu besok sore? Kita bisa berbicara lebih banyak."

"Insya Allah, besok sore aku punya waktu. Di tempat yang sama?"

"Ya, di tempat yang sama. Sampai jumpa besok, Sarah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

---

Keesokan harinya, kedai kopi itu kembali menjadi tempat pertemuan mereka. Saat Sarah tiba, Fahmi sudah duduk di meja yang sama dengan senyum hangat menyambutnya. Ia mempersilakan Sarah duduk, dan keduanya mulai mengobrol ringan, sebelum Fahmi memulai percakapan yang lebih serius.

"Sarah, aku ingin berbicara tentang niatku yang sebenarnya. Aku tahu kita baru saja bertemu, dan mungkin ini terdengar terburu-buru. Tapi, aku ingin menjelaskan niatku sejak awal agar kamu bisa memahami perasaanku. Aku ingin membangun rumah tangga yang berdasarkan cinta kepada Allah, dan aku melihat itu juga menjadi impianmu."

Sarah terdiam sejenak "Aku mengerti, Fahmi. Aku juga ingin yang sama. Bagi aku, pernikahan adalah perjalanan bersama menuju keridhaan-Nya, bukan hanya tentang kebahagiaan sesaat."

"Benar. Aku percaya bahwa pernikahan harus didasarkan pada iman dan kepercayaan kepada Allah. Kita mungkin akan menghadapi banyak ujian, tapi jika kita saling menguatkan dan menempatkan Allah di pusat hubungan kita, insya Allah, kita akan selalu diberi petunjuk."

Sarah mengangguk, merasakan kedamaian di hatinya. Cara Fahmi berbicara selalu tulus dan penuh keyakinan. Meski baru saja mengenalnya, Sarah merasa ada keikhlasan dalam niat Fahmi yang tak bisa diabaikan.

"Aku setuju, Fahmi. Tapi aku juga ingin kita saling jujur. Pernikahan adalah perjalanan panjang, dan aku tidak ingin ada hal-hal yang tersimpan atau disembunyikan. Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin mengenalmu lebih baik. Apa yang menjadi harapan dan rencana masa depanmu?"

Fahmi tersenyum, memahami kekhawatiran Sarah.

"Aku menghargai keterbukaanmu, Sarah. Rencanaku sederhana. Aku ingin menjadi suami yang baik, yang bisa menuntun istriku menuju kebaikan, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Aku ingin kita menjalani hidup dengan prinsip-prinsip Islam yang kuat. Bagiku, kesederhanaan adalah kunci kebahagiaan. Aku ingin bekerja keras, membangun rumah tangga yang penuh dengan cinta dan sakinah, seperti yang dijanjikan Allah."

Sarah tersenyum lembut "Itulah yang selalu aku impikan, Fahmi. Tapi aku juga ingin kita realistis. Kehidupan setelah menikah tidak selalu mudah. Apa yang akan kamu lakukan jika kita menghadapi masalah? Bagaimana kita akan mengatasinya?"

"Masalah pasti akan ada, Sarah. Tidak ada pernikahan yang sempurna. Tapi aku yakin, jika kita terus berkomunikasi, saling mendukung, dan tidak lupa berdoa serta bertawakal kepada Allah, kita akan menemukan jalan keluar. Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling mengingatkan dalam kebaikan, bukan hanya dalam kebahagiaan, tapi juga dalam kesulitan."

---

Percakapan itu semakin dalam, mengungkap visi dan harapan masing-masing. Sarah merasa semakin yakin bahwa Fahmi adalah seseorang yang bisa ia percayai untuk berbagi masa depan. Meskipun masih banyak yang harus mereka pelajari tentang satu sama lain, Sarah yakin bahwa fondasi yang mereka bangun sudah cukup kuat: keimanan kepada Allah dan keinginan tulus untuk membangun rumah tangga yang diberkahi.

Pertemuan hari itu menjadi titik awal dari perjalanan yang penuh harapan, meski tantangan pasti akan menyusul. Di bawah langit-Nya yang luas, dua hati yang tulus mulai berjalan menuju sebuah mimpi: rumah tangga yang penuh dengan *sakinah*.

---
Wahh... Apakah mereka akan bersatu?

Jangan lupa vote dan komen ya guys

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sakinah di Bawah Langit-Nya [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang