"Bu, aku berangkat, yah."
Aku menghampiri Ibu di dapur yang tengah memasukkan makanan kedalam sebuah kotak makan. Tentu saja untuk ku bawa.
"Ini."
Ibu menyodorkan, lalu aku mengambil dan menaruhnya kedalam tas sekolah. Setiap senin, aku tidak akan sempat untuk sarapan. Dikarenakan gerbang sekolah tutup pukul setengah tujuh kurang. Mencegah siswa datang terlambat karena akan diadakan upacara pagi.
Sebenarnya sih, aku bisa sarapan lebih dulu dirumah, tetapi kalau masih pagi begini, aku tidak memiliki nafsu untuk menyantapnya. Daripada buang waktu, lebih baik aku membungkusnya dan akan aku makan bila ada kesempatan selepas upacara nanti. Teman-teman ku juga seperti itu.
"Eh, De. Bareng, yuk. Ibu juga mau berangkat. Kita searah, kan."
Aku menoleh kebelakang. Mendapati Ibu Karin yang tengah mengambil kacamata hitamnya didalam tas dipundak. Aku sejenak berpikir, namun Bu Karin telah menarikku lebih dulu untuk mendekat. Membuat aku tidak memiliki pilihan lain. Lumayan, aku tidak perlu menunggu angkutan umum mencari penumpang dulu.
Outlander putih Bu Karin keluar dari halaman rumah. Masih dengan dikendarai oleh Pak Harun, supir kepala botak yang kini memakai jaket kulitnya. Gagah sekali.
"Jaketnya bagus, pak."
Aku melirik Bu Karin disamping. Tersenyum senang.
"Iya dong, Non. Kan Ibuk sama Non yang milihin."
Pak Harun kedapatan oleh-oleh jaket kulit cokelat. Sebenarnya Pak Harun sudah disuruh pilih mau beli apa disana, namun ia menolak. Lalu Bu Karin yang akhirnya memilihkan diam-diam untuknya.
"Bu Karin, pak. Bukan Dea."
"Iya sama saja, Non. Hatur nuhun."
Bu Karin tertawa pelan. "Sami-sami."
Dan perjalanan kami diisi dengan keheningan. Bu Karin kembali sibuk dengan ponsel serta ipad ditangannya. Sedang aku, hanya memandang jalan yang sedikit penuh dengan kendaraan.
•><><><•
Dua puluh menit aku sampai. Hari senin selalu saja membuat jalan penuh dengan kendaraan. Padahal hari senin merupakan hari paling krusial dibanding hari-hari lain. Terutama bagi anak sekolah seperti aku.
Aku turun dari Outlander putih Bu Karin setelah mengucap salam dan mencium tangannya. Namun disaat yang bersamaan Rafif muncul. Persis dibelakang ku.
"Eh, An."
Panggil Rafif. Aku tidak bisa mengatakan apapun karena pintu mobil belum aku tutup. Aku tidak mau Bu Karin mendengar aku berbicara dengan Rafif. Ditambah, Rafif terkadang mengucap yang aneh-aneh. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Lalu pergi meninggalkannya tanpa mengatakan apapun.
Aku memasuki gerbang. Bersamaan dengan beberapa siswa yang juga berjalan sejajar denganku. Suara motor Rafif tidak juga terdengar. Entah ada apa disana. Aku tidak mau menoleh. Sepertinya mobil Bu Karin juga belum beranjak pergi.
"Andrea ... Tunggu."
Suara Rima terdengar dibelakang. Aku menoleh sekadar untuk mencuri pandang dengan keadaan dibelakang. Sudah tidak ada. Rafif maupun Outlander putih Bu Karin sudah sama-sama pergi. Kemana Rafif? Kenapa ia tidak masuk sekolah? Bukankah sebentar lagi bel berbunyi?
"Nyari apa?"
Aku tersadar ketika Rima melambaikan tangannya dihadapanku. Ia menatapku aneh, lalu mengarahkan kepalanya kebelakang, mengikuti arah pandangku.
"Gak. Ayo masuk."
"Tunggu, ih! Ditinggal terus!" Seru Rima dengan menyusul.
"Siapa suruh berjalan lambat?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Teduh
Teen FictionTemuilah orang lain. Jadikan diri kamu rumah, bukan hanya sebuah payung untuk berteduh. Karena sejatinya cinta akan selalu membutuhkan rumah untuk pulang.