Ada hal yang harus disampaikan, ada pula yang lebih baik tetaplah menjadi rahasia. Ya, tak semua perlu diceritakan, meskipun dengan sosok terdekat pun. Begitulah sang putri berdamai dengan keadaan. Pengalaman hidup mengajarkannya. Walaupun berada di sebuah istana megah, tak menjamin dirinya tetaplah aman. Tak semua hal bisa ia kendalikan, termasuk bisik-bisik yang menjalar di antara para penghuni Kedaton Kutaraja. Tembok-tembok yang dibangun menjulang tinggi nan kokoh tampaknya memiliki telinga tersembunyi. Suara-suara sumbang mampu menembus tebalnya dinding pembatas, hingga terlihat mengabur.
Tribhuwana, sang putri sulung sesekali mengedarkan pandangannya ke segala penjuru perpustakaan. Ia sengaja tak memilih kediaman putri karena di sana terdapat adik-adiknya. Ah, sungguh sebuah pekerjaan berat menyembunyikan rahasia dari Mahadewi, Jayendradewi, dan Gayatri. Namun, Tribhuwana tak mau mengambil risiko melibatkan mereka. Ya, terlalu riskan. Berulang kali surat yang pegangnya ia remas, hingga terlihat lecek. Ah, Tribhuwana menghela napas resah. Hatinya amatlah bimbang. Sang putri berada di persimpangan. Bagaimana tidak? Surat yang diterimanya dari pemuda misterius itu tertulis sebuah tempat. Dengan kata lain, pemuda tersebut mengundang sang putri untuk bertandang ke kediamannya. Oh, bukankah sangat kurang ajar? Seharusnya Tribhuwana tersinggung karenanya, tetapi entah mengapa lubuk hatinya berkata lain.
Tribhuwana melihat sekilas goresan aksara yang tertulis rapi. Terlihat sekali bahwa pemuda yang ia anggap pencuri itu bukanlah orang sembarangan. Bagaimana mungkin rakyat jelata memiliki kemampuan tulis menulis yang sungguh apik ini? Lagi-lagi, sang putri hanya bisa tenggelam dalam penasaran. Batinnya meraung, ia kehausan. Ya, haus akan rasa ingin tahu. Oh, apa kata dunia jika putri panutan sekaligus kebanggan Singhasari mendobrak tata krama yang mengikat. Pantang bagi sekar kedaton melalang buana tanpa tujuan yang jelas, apalagi menemui seorang pria yang tak jelas asal usulnya.
"Tribhuwana? Apa yang ka—"
Tribhuwana terperanjat mendengar suara seseorang, kemudian langsung menyembunyikan surat pada lipatan ken. "Manika? Tidak ... aku tidak melakukan apa pun," dustanya kepada dayang kepercayaannya itu.
Manika menyipitkan matanya. "Kau adalah pembohong yang buruk, Tribhuwana," ejeknya kemudian. Terdengar tidak sopan untuk ukuran paricaraka yang tengah berbicara dengan putri raja. Namun, begitulah adanya. Tribhuwana mengikis jarak di antara mereka. Asalkan berdua saja, Manika diperbolehkan memanggilnya tanpa embel-embel putri dan sebagainya. Lupakan sejenak jurang pembatas, Tribhuwana menganggap Manika layaknya saudarinya sendiri.
Tribhuwana menggeleng lemah. Sungguh, ia kalut dalam dilema yang berkepanjangan. "Apakah aku harus menuruti keinginan pemuda yang bahkan tak kuketahui namanya." Merasa diamnya tak memberi jalan keluar, gadis itu pun berterus terang.
"Jangan melakukan suatu hal jika didasari dengan keraguan. Untuk itu, pertama yang harus kau lakukan adalah menghapus ragu terlebih dahulu." Manika menyentuh pundak sang putri. "Kau harus mencari jawabannya sendiri, Tribhuwana."
Tribhuwana menyunggingkan bibirnya, sehingga membentuk lengkungan yang mampu membuat siapa saja terpukau. "Kau benar, Teman. Tapi, bagaimana jika Ayahanda Prabu mengetahui bahwa aku meninggalkan istana tanpa seizinnya?" Gadis itu mendesah resah. Tiga hari ia berpikir keras, tetapi tak ditemuinya keputusan yang jelas. Benar saja, ia terombang-ambing dalam lautan ketidakberdayaan. Ya, siapalah yang berani menentang Maharajadiraja Singhasari. Pongah sekali apabila Tribhuwana berharap mendapatkan ampunan dengan mudah. Meskipun ia adalah putri kandung Prabu Kertanagara, ayahandanya itu tetaplah sosok yang keras. Sifat ahangkara-nya tak terkalahkan. Ketidakpatuhan Tribhuwana bisa saja dianggap menyepelekan sang Prabu. Sorot kecewa yang terpancar dari mata sang Maharaja sudah terbayangkan sejak dini. Ayahandanya yang biasanya menatapnya penuh harapan dan rasa bangga, akankah semua berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG MAHALALITA
Ficção Histórica-Historical Fiction- {Wismakalalita Singhasari I} Akhir abad ke-13, rentetan peristiwa menyeret Singhasari ke dalam jurang keruntuhan. Di situasi sulit itu, desakan untuk segera menikah semakin nyata, apalagi kepada putri sulung Prabu Kertanagara ya...