Seminggu sebelum istriku meninggal, dia sibuk sekali di dapur. Lengkap dengan sebentuk wajah yang selalu terlihat ramah, celemek polkadot berwarna dasar kuning, dan rambut semi ikal diikat kucir kuda.
Tubuh kurusnya itu berdiri lama di balik meja pantri, menghadap pada berbagai jenis bahan yang berjajar menunggu ditakar. Ada chicken fillet, udang kupas setengah beku, tepung terigu, telur, bread crumbs, keju, dan sisanya ... entah. Aku tidak hapal. Yang jelas titik-titik noda tepung bertebaran, bahkan sampai mengotori sebagian lengan kanannya.
"Bikin apa?" tanyaku sambil membuka kulkas dengan tangan kiri, mencari botol berisi air dingin. Sementara ponsel di tangan kanan sedang membuka portal berita daring. Oh, tim sepakbola kesayanganku kalah lagi. Sial.
"Stok makanan," jawabnya ceria.
"Tumben. Biasa juga beli." Aku hanya melirik sekilas. Tidak begitu minat mencari tahu. Jemariku sudah lebih dulu bergulir ke aplikasi Youtube, memantengi channel otomotif. Aku memang sedang tertarik memodifikasi mobil. Penasaran sekali ingin mengganti shock, velg, dan ban. Sepertinya keren jika dibuat agak ceper asal air suspension-nya tetap sesuai.
"Biar gampang nanti kalau kamu mau makan," lanjutnya lagi. Kali ini sambil memotong chicken fillet menjadi bentuk dadu kecil, kemudian memasukkannya ke dalam blender khusus daging-yang aku lupa namanya.
"Lebih gampang beli. Gofood, Grabfood, pesan-antar, atau apalah. Enggak perlu repot-repot buang waktu dan tenaga."
Eliana mengerling. "Siapa tahu nanti kamu kangen makanan buatanku."
Harusnya waktu itu aku lebih peka. Kata-kata Eliana, gerak-geriknya, keputusannya ... mungkin merupakan suatu pertanda. Hanya saja aku, si tolol ini, terlalu cuek sehingga mengabaikan semua. Alih-alih merespon lagi, aku justru berlalu tanpa berkata apa-apa. Langkahku terayun ke ruangan di lantai atas yang dipatenkan sebagai area pribadiku.
Di sudut kanan ruangan itu, meja komputer bersisian dengan lemari tempat menaruh buku dan berkas-berkas. Sementara area kiri sudah disulap menjadi tempat khusus nge-game. Ada seperangkat PS keluaran terbaru, TV plasma berlayar lebar lengkap dengan audio canggih, dan bean bag empuk yang begitu nyaman. Biasanya aku betah berjam-jam di ruangan tersebut. Entah untuk menuntaskan urusan kantor yang tertunda, main PS sendirian, atau mabar bersama teman-teman. Sampai nanti Eliana yang kemudian mengingatkan untuk mandi atau makan.
Mau makan apa?
Baru saja aku mengecek group chat mabar, pesan dari Eliana keburu masuk. Meski tinggal satu atap, kami memang terbiasa berkomunikasi via Whatsapp terutama bila sedang beda ruangan. Aku yang menggagas, karena rasanya lebih praktis dan hemat tenaga.
Bebas.
Ayam goreng mentega mau?
Ok.
Nanti aku kasi tau kl udah siap.
Ok.
Ya, Eliana selalu memberi keleluasaan bagiku untuk melakukan hobi, begitu pula sebaliknya. Apalagi kami belum punya anak--dan tidak terburu-buru untuk punya juga--sehingga semua mengalir santai saja. Atau setidaknya, begitu menurut pemahamanku secara sepihak.
Selama satu jam setelahnya aku pun larut dalam permainan dengan mode squad. Hari ini personel tim lengkap empat orang dan semua bergulir seru. Adrenalinku jadi cukup terpacu. Barulah sekitar pukul delapan malam, sesi mabar akhirnya usai. Aku dan teman-teman virtualku lantas membahas hal-hal random di group chat. Dari mulai skill Ignis yang mirip dengan Toxic Screen Viper di Valorant, jenis saham yang harganya sedang bagus, sampai berbagi link syur ani-ani metropolitan. Ya, namanya juga pria.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Dalam Kepala (ANTOLOGI CERPEN)
RomanceKumpulan cerpen random dari masa ke masa. Berbagai genre ada di sini.