Pria itu sungguh mengganggu. Bahkan jauh sebelum adzan subuh lamat-lamat berkumandang saja, suara lantangnya yang bermonolog sudah lebih dulu mendominasi gang sempit pemukiman kami. Dia katanya ingin menentang fajar yang selalu menggulirkan hari, namun tak pernah membawakan perubahan yang berarti. Dia katanya ingin menjadi sosok yang bisa menembus labirin waktu, agar mengubah segala hal yang dirasa perlu. Sungguh racauan aneh dari mulut seseorang yang mungkin bisa dikatakan tidak waras.
Aku sempat mengintip dari balik gorden kamarku yang kebetulan bisa menangkap sosoknya berdiri. Dia adalah seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun, dengan rambut cepak yang mulai dihiasi uban. Kulitnya hitam legam dengan perawakan kurus tak terawat. Sorot matanya sungguh sekelam malam. Sekilas dia nampak kumal, karena menggunakan pakaian yang tidak pernah diganti selama berhari-hari.
Kata Ibu, pria itu adalah penghuni baru kontrakan milik Bude Laksmi−kakak tertua Ibu−yang kebetulan posisinya persis di sebelah rumah kami. Terakhir kali aku pulang pada liburan semester lalu, rumah itu masih belum berpenghuni. Pria si tukang meracau beserta orang tuanya yang sudah cukup renta, memang baru pindah sejak seminggu lalu.
"Lah gimana Pak, tetangga kok pada protesnya ke Ibuk?" Pagi ini Ibu yang baru pulang berbelanja ke tukang sayur menekuk wajahnya dengan sempurna.
Dia menaruh kantong belanjaannya sebelum kemudian menyuguhkan dua bungkus nasi uduk kepada aku dan Bapak yang duduk lesehan di ruang tengah.
"Ya tinggal telepon aja Mbakyu, Buk. Jangan diambil pusing." Bapakku yang berperangai santai, kadang sukses membuat Ibu geregetan.
"Bapak tuh ya, semua dianggap enteng. Padahal Ibu lagi curhat. Para tetangga seolah-olah menyalahkan Mbak Laksmi karena menerima keluarga sebelah."
Kalau sudah begini biasanya Bapak memilih diam. Hanya berdeham sebentar kemudian pura-pura sibuk membuka bungkusan nasi uduk yang sudah tersaji. Sedangkan aku jelas hanya bisa jadi penonton. Tak berani berkomentar padahal mulut ini sudah gatal. Aku takut kalau ikut berpendapat, Ibu malah semakin panas dan mengoceh panjang.
Setelah berucap satu-dua kata lagi, Ibu menelepon seseorang yang sudah bisa dipastikan adalah Bude Laksmi. Mereka lalu terlibat pembicaraan singkat yang cukup serius. Sementara Bapak hanya mengerling padaku sambil mengangkat bahunya sedikit. Setelah itu memilih pergi ke dapur guna menyiapkan bahan-bahan untuk berjualan bakso.
*
Suasana gang sempit saat siang hari cukup hangat oleh suara anak-anak kecil yang sibuk bermain kesana kemari. Banyak juga teriakan tukang dagang yang kerapkali lewat, dengan cara penawaran khas layaknya S-3 marketing masa kini. Dari rumahku ini bahkan bisa terdengar suara ibu-ibu mengobrol dengan lantang. Membicarakan gosip-gosip artis yang rajin diliput acara infotainment, atau sedang mejeng di salah satu akun gosip kenamaan. Namun ada kalanya suara mereka dalam mode bisik-bisik. Dapat kutebak saat itu mereka pasti sedang membicarakan orang terdekat yang ada di sekitar.
Tampak tak ada yang ganjil dengan semuanya. Kecuali tentang sang pria tukang meracau yang kini ikut menyemarakkan hari-hari kami. Pernah waktu itu, dia tiba-tiba menggedor-gedor pintu rumahnya dari dalam sambil berteriak minta dibuka. Sontak saja ibu-ibu seketika mengamit anaknya untuk pulang. Pernah juga dia tiba-tiba membaca puisi lalu bernyanyi layaknya seorang siswa yang sedang menjadi peserta lomba. Tak ayal, anak-anak berkerumun mengira kalau memang benar akan ada pertunjukkan seni di balik pintu kontrakan yang selalu tertutup itu. Tapi yang paling mengherankan, pernah suatu ketika aku mendengar alunan suara orang mengaji yang begitu syahdu. Kalau telinga dan daya ingatku tidak salah, itu adalah suara pria itu.
Sehingga sungguh membingungkan, apakah dia sebenarnya mutlak kurang waras, sedikit kurang waras atau hanya terkadang kurang waras?

KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Dalam Kepala (ANTOLOGI CERPEN)
Roman d'amourKumpulan cerpen random dari masa ke masa. Berbagai genre ada di sini.