Chapter VII : Sadness and Happiness

40 8 0
                                    

Chloe's POV

Aku melajukan mobilku menuju rumah sakit terdekat. Nicholas sudah menuju rumah sakit tersebut terlebih dahulu karena ia mengendarai motornya. Di tengah perjalanan aku melihat seseorang yang familiar---postur tubuhnya tinggi, rambutnya keriting---berjalan keluar dari sebuah club malam bersama seorang wanita berpakaian minim. Tetapi aku tidak memperdulikannya. Yang aku pikirkan sekarang hanya menyelamatkan Mom yang nyawanya diantara hidup dan mati.

***

Aku menghentikan mobilku di depan rumah sakit dan segera meminta suster membawa mom ke UGD. Setelahnya, aku memarkirkan mobilku dan segera menuju ke UGD. Saat aku sampai di depan ruang UGD, Nicholas mencegat ku.

"Jangan masuk! Kita belum diperbolehkan."

"Nicholas, aku tidak ingin Mom pergi. Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak perlu ada di dunia! Nyawa Mom terancam karena ku, Nicholas. Nyawa manusia yang telah mengajarkanku apa itu kasih sayang TERANCAM KARENA KU!", kataku terisak sampai sambil meronta-ronta di dalam pelukan Nicholas.

"Sshhh.. In bukan salahmu. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Sekarang kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita serahkan semuanya kepada tim medis dan Tuhan. Berdoalah semoga Tuhan mengembalikannya ke dunia.", ujar Nicholas. Aku hanya bisa menangis di dada Nicholas sekarang. Dia mengelus-elus rambutku supaya aku tenang.

"Sudah ya, jangan menangis. I promise, I will be your keeper as long as I'm with you.", ucapnya seraya melepaskan pelukan kami.

"Sudah, jangan menangis. Kau terlihat seperti sadako kalau begitu kalau begitu.", katanya lagi meledek.

"Kurang ajar, kau!", kataku memukul bahunya. Aku segera menghapus air mataku dan mengatakan,"Apakah kau sungguh2 dengan kata-katamu tadi?".

"Yang mana?"

"Yang kau bilang, kau akan selalu berada disisiku dan menjagaku?"

"Benarkah, aku mengatakannya?"

"Baiklah kalau kau lupa. Aku akan menangis lagi." Saat aku hendak menarik nafas, Nicholas segera menjepit hidungku yang membuatku tidak bisa bernafas. Aku memukul-mukul lengannya sampai dia melepaskannya.

"Hahaha ... Wajahmu memerah seperti banteng marah!", ujar Nicholas.

"Aku nyaris mati karena ulahmu, bodoh!", sergahku.

"Jangan mati dulu lah.. Aku gagal jadi kakak yang baik, kalau kamu mati. Dan aku bakal menyesal seumur hidupku karena tidak bisa menjagamu dengan baik.", tuturnya.

Aku pun tersenyum. Dia langsung memelukku sambil mengatakan,"I love you, sweetheart."

"I love you too, BabyNi.", balasku mengejeknya. Haha, masa bodo!

"Menjijikan.", ujarnya dengan tampang tak suka.

Akhirnya kami memutuskan untuk duduk di kursi tunggu menunggu dokter keluar.

5 menit kemudian..

"Pasien atas nama keluarga Adler?", ucap dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD tersebut.

"Kami keluarganya. Bagaimana keadaannya dok?", ujarku panik.

"Nyonya Adler.."

"Iya, kenapa dok?!", selakku.

"Tenang, dik. Nyonya Adler masih bisa terselamatkan. Tetapi beliau kehabisan banyak darah. Kami akan mencari stok darah bergolongan AB untuknya. Tetapi kalau kami kehabisam stok, kami mohon salah satu dari kalian yang bergolongan darah sama untuk melakukan transfusi darah.", tutur sang dokter. Aku yang bergolongan darah O tentu tidak bisa mendonorkannya. Berarti Nicholas lah yang harus melakukannya karena dia bergolongan darah AB. Aku menatapnya seakan bertanya 'apa kau bersedia?'.

Dangerous Choice -new edit-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang