Aku menatap lurus kelantai dengan tatapan kosong. Pikiranku kacau, aku tidak bisa memikirkan apapun, semuanya kacau
"Ara, gue jauh-jauh kesini bukan buat liat lu bengong"
Aku sedikit tersentak mendengar penuturan seseorang di depanku saat ini. Aku mengalihkan tatapan ku padanya, aku langsung meneteskan air mataku saat orang itu menarikku ke dalam pelukannya
Aku menangis sesenggukan didalam pelukan itu
"Gapapa, semuanya udah berlalu. Maaf gue gaada buat lu waktu itu"
"Mulai sekarang, lu harus libatin gue di dalam masalah apapun yang lu hadapi"
Fiony, sahabatku
Aku menatapnya begitu lama, aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata apapun saat itu, seolah-olah mulutku terkunci oleh tatapan matanya
"Mulai besok lu harus masuk sekolah, udah seminggu lu ngeliburin diri sendiri. Sampe ga makan-makan, lu mau mati hm?"
Jemarinya yang lembut membelai wajahku dengan lembut, lagi dan lagi senyumannya membuatku terdiam seribu bahasa. Jika seisi bumi dibandingkan dengan sosok Fiony, aku akan memilih sosok itu daripada seisi bumi yang tak pernah bersikap adil kepada yang lebih lemah. Tidak adil
Aku menarik ceruk lehernya secara perlahan, Fiony menegang karena perlakuanku. Aku tersenyum kemudian menyatukan dahi kami. Lumayan lama aku melakukannya, beberapa menit kemudian masih belum ada pergerakan dari Fiony. Hingga akhirnya aku memberikan jarak antara wajah kami, aku dapat melihat dengan jelas raut wajah gadis itu yang seperti sedang menahan malu
"Kenapa?" tanyaku
Fiony menggelengkan kepalanya kemudian dengan sigap dia meraih semangkuk sup panas yang sedari tadi tersimpan diatas meja, mungkin sekarang sudah dingin karena sudah terabaikan lumayan lama
"Makan dulu. Gue punya sesuatu yang harus diceritain ke lu" ujar Fiony sembari meraih sendok dan mulai menyuapiku dengan sup itu
Hanya 5 suapan yang mampu aku tampung saat itu, meski Fiony terus merengek meminta aku untuk menghabiskan nya, aku bersikeras menolaknya. Akhirnya gadis itu pasrah dan menaruh kembali mangkuknya dengan raut wajah kesal
Fiony melipat kedua tangannya didada, tatapannya seperti sedang mengidentifikasi seorang mangsa
Aku menyentil kan jariku ke keningnya, Fiony meringis sementara aku tertawa melihat ekspresi nya
"Cerita apa?" tanyaku sembari meraih segelas air putih yang sempat Fiony ambil dari dapur rumahku
"Gue gatau gimana mulainya, omong-omong lu masih kerja di kafenya Azizi?"
"Masih " balasku santai
"Gue denger-denger bokapnya Azizi ngejual itu kafe. Baru 3 hari yang lalu, tapi gue belum tau siapa pemilik baru kafe itu"
Aku menaruh kembali gelas air itu, kemudian aku menatap serius pada Fiony. Pikiranku lagi-lagi berkecamuk, kacau. Kafe Azizi adalah salah satu sumber penghasilan terbesar ku, bagaimana bisa Azizi menjualnya begitu saja? Bukankah itu kafe yang ia rintis dari nol. Azizi sangat mencintai kafe itu, bagaimana bisa Azizi merelakan nya?
Hari demi hari nenekku semakin sakit, jika kafe itu dijual otomatis hal itu membuatku kehilangan pekerjaan. Biaya operasi nenekku sangat mahal, aku bahkan belum sempat mengumpulkan banyak uang untuk hal tersebut. Aku tidak tahu dimana keberadaan orang tuaku, kemana aku harus meminta bantuan? Kenapa dunia ini sangat tidak adil, kenapa episode bahagia dalam hidupku begitu sulit? Kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanthalla
General Fiction"Biarkan aku berjalan diatas takdir yang kupilih" _Annara Vanletta Khaulah"