Prolog

83 15 8
                                    


Di tengah perpustakaan tua yang dipenuhi aroma buku-buku lama, Zen berdiri kaku di depan seorang wanita yang terlihat begitu mirip dengan Khaira, istrinya. Suara hujan deras di luar sana bergema di dalam ruangan, memberikan nuansa sepi yang menyesakkan. Zen menatap wanita itu lekat-lekat, seolah mencari sisa-sisa kenangan yang telah lama menghilang.

"Khaira selalu suka duduk di sudut sana," ucap Zen dengan suara berat, menunjuk ke arah jendela besar yang menghadap ke taman hujan. "Dia bilang, suara hujan membantunya berpikir lebih jernih."

Wanita di depannya, yang kini dikenal sebagai Clara, menatap Zen dengan kerutan di dahi. Raut wajahnya menyiratkan kebingungan, seolah berusaha mencari kebenaran dalam kata-katanya. Namun, tatapannya penuh dengan rasa tak nyaman.

"Siapa Anda sebenarnya?" Suaranya terdengar kaku, namun ada keraguan yang samar dalam nada bicaranya. Rasa penasaran seolah bertarung dengan penolakannya.

Zen menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak yang memukul-mukul di dadanya. "Istri saya... dia cantik, seperti dirimu. Tapi dia menutup auratnya dengan baik."

Sorot mata Zen tajam, menyimpan kerinduan dan kekecewaan yang mendalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa berat, seolah menanggung beban yang tak terkatakan.

"Bukankah dalam agamamu tidak dibenarkan berduaan dengan wanita asing?" Clara mencoba mematahkan keheningan, nadanya setengah mengejek, berusaha menempatkan Zen dalam situasi yang sulit.

Zen tersenyum tipis, tapi sorot matanya tetap teguh. "Benar, tidak dibenarkan. Tapi kalau dengan istri sendiri, tak ada yang melarang."

Clara tertawa sinis, mencoba menghapus rasa tegang yang mulai menyelinap. "Saya bukan istri Anda." Kalimatnya tegas, tetapi Zen bisa menangkap getaran kecil dalam suaranya. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang mungkin ia sembunyikan.

Zen melangkah maju, tatapannya semakin intens, menyampaikan harapan yang belum pudar. "Pikirkanlah untuk jadi istri saya lagi." Kalimat itu terlepas dari bibirnya, terdengar nekat, tetapi Zen tidak peduli lagi.

Clara mendengus, meski matanya sedikit gemetar. "Aku masih gadis. Sedangkan kamu, duda." Ia menekankan kata-katanya, berusaha memisahkan jarak di antara mereka.

Zen tersenyum pahit, namun ia tetap melangkah lebih dekat. "Kamu yakin? Semua yang terjadi, semua perasaan ini... tidak bisa dibohongi."

Clara terdiam sejenak, mencoba menata kembali emosinya. "Kenapa kamu begitu yakin aku adalah istrimu? Semua orang bisa berubah. Aku pun sudah berubah."

Zen menatapnya dalam-dalam, seolah ingin menembus tembok yang Clara bangun di sekeliling hatinya. "Karena aku masih mencintaimu, Khaira. Dan aku tahu, di dalam hatimu, ada rasa yang sama. Meskipun kamu mencoba melupakan, aku yakin ada bagian dari dirimu yang mengenaliku."

Clara menunduk, bibirnya bergetar. Air mata yang ia coba tahan akhirnya terlepas, namun ia segera menyekanya cepat. "Kalau benar aku istrimu, kenapa kamu membiarkanku pergi?" Suaranya pecah, menyuarakan luka yang selama ini terpendam dalam-dalam.

Zen mendekat, suaranya lembut namun penuh penyesalan. "Karena aku bodoh, Khaira. Aku pikir, dengan menunggumu, kamu akan kembali. Tapi ternyata aku justru kehilangan diriku sendiri... kehilangan kita."




---

Hai, hai, hai..

Aku comeback setelah sekian purnama. Wkwkwk

Apakah masih ada yang mau baca cerita ini lebih lanjut?

Tidak ada dari kisah ini yang berubah aku mungkin akan menambah detail dan insyaallah semoga bisa kutamatkan yaa..

Mohon doanya.

See you ^^

Assalamualaikum...

Ainy, membawamu kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang