Malam itu, Khaira merenung di depan jendela kamarnya, menatap langit yang mulai gelap. Bayang-bayang percakapannya dengan Chika siang tadi masih membekas. Chika bertanya tentang apa yang ingin dicapainya di luar rutinitas rumah tangga—tentang mimpi-mimpinya, ambisinya, dan apa yang ia rindukan dari dirinya yang dulu. Pertanyaan itu, meskipun disampaikan dengan ringan, menimbulkan gejolak di hati Khaira.
Ia memandangi wajah Afwa yang terlelap di ranjang, lalu menghela napas panjang. Dulu, ia sering menjadi MC, menjadi penyiar radio, menjadi narasr, mengikuti kajian Islam, terlibat dalam diskusi yang menginspirasi dan memacu pikirannya. Tapi kini, semuanya terasa jauh.
Khaira merasa tersesat di antara peran-perannya yang semakin menumpuk—sebagai istri, ibu, dan diri sendiri yang terabaikan. Keinginan untuk kembali aktif di dunia luar terasa seperti egoisme, tapi ada sesuatu yang terus mengusik di hatinya: keinginan untuk menemukan kembali siapa dirinya selain peran-peran itu.
Ia pun memutuskan untuk membicarakannya pada Zen segera.
---
Zen meraih ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Khaira, istrinya, terpampang di layar.
Kesayangan
Kak, jadi lunch di rumah kan? Aku udah masakin sop dagingnya nih. Ssst! Kali ini pake resepnya Mommy, lho!Senyum mengembang di wajah Zen. Ia melirik arlojinya sekilas, waktu makan siang hampir tiba. Zen memutuskan untuk menelepon istrinya langsung, merasa perlu mendengar suaranya yang selalu memberinya ketenangan.
Zen ersenyum saat mendengar sambutan dari seberang sana.
"Wa’alaikumsalam, Ra. Iya, sayang. Aku pulang."
Terdengar suara tawa kecil di seberang, yang membuat senyum Zen semakin lebar." ...."
"Hahah... nggak papa, Sayang. Aku yakin pasti enak, dan pasti bakal kuhabiskan."
"....."
Wa’alaikumsalam warahmatullah."
Zen menutup telepon dan menyelipkan ponselnya kembali ke saku. Ia merasa lebih ringan, seperti mendapatkan semangat baru setelah mendengar suara lembut Khaira. Zen bergegas turun dari kantornya, mengayunkan langkah cepat menuju parkiran. Rumah mereka tidak jauh dari perusahaan, jadi Zen sering menyempatkan diri pulang untuk makan siang bersama Khaira, apalagi setelah istrinya memilih untuk sepenuhnya tinggal di rumah.
Sejak Khaira berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah, Zen tahu betapa sulitnya perubahan ini bagi istrinya. Khaira, yang dulunya aktif di luar rumah, kini harus beradaptasi dengan rutinitas baru sebagai ibu rumah tangga. Ia jadi lebih sensitif, lebih mudah merasa kesepian, dan Zen berusaha memastikan dirinya selalu hadir untuk mendampinginya, termasuk dengan pulang saat jam makan siang.
Langkah Zen melambat ketika ia mencapai parkiran dan hendak membuka pintu mobilnya. Sebuah suara memanggil dari belakang.
"Zen!" Suara seorang wanita, cukup lantang tapi terdengar akrab di telinganya. Zen menoleh cepat.
"Kath?" Zen mengernyitkan dahi, menatap sosok yang berdiri di hadapannya dengan perasaan tak percaya. "Itu kamu?" Suaranya terdengar terkejut, seolah tidak yakin apa yang dilihatnya.
Di hadapannya, berdiri seorang perempuan yang wajahnya tidak asing, tetapi penampilannya berbeda jauh dari yang Zen ingat. Ya, perempuan ini memang Kathlen—mantan pacarnya dulu. Tetapi Kathlen yang ada di hadapannya sekarang tampak begitu berbeda.
Tidak ada lagi rambut panjang yang tergerai bebas, tidak ada pakaian yang terbuka atau celana pendek seperti dulu. Kini, tubuhnya tertutup rapi dengan gamis hitam polos dan pashmina putih gading yang menutupi rambutnya. Penampilannya terlihat anggun, dengan sikap yang lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ainy, membawamu kembali
Espiritual[Sekuel Wo ai Ni, aku mencintaiMu] Mereka sudah menikah. Pernikahan mereka bahagia, namun tidak sampai ombak badai menerjang bahtera rumah tangga mereka. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa? Simak aja, yuk!