Beberapa kali netra ruby nya melirik gelisah ke seluruh sudut kelas yang dia tempati. Baru saja pemuda ini menjadi siswa baru, tapi sudah ada saja masalah yang menimpanya.
Helaan napas lolos dari mulutnya, tangan kirinya dia gunakan untuk memijat pelipisnya. Rasa pening menguasainya karena lembaran kertas di depannya. Lembaran yang mendadak disodorkan padanya ketika menempati bangku depan yang sudah lama dibiarkan kosong dalam sebuah kelas.
Seragam pemuda itu tertulis namanya, Halilintar, yah hanya Halilintar saja. Jarinya mengetuk meja di depannya dengan irama perlahan, suasana kelas ini sangat mencekam baginya.
Mata ruby Halilintar terus berkeliling waspada, masih mengamati setiap sudut kelas yang baru saja ia tempati. Sebagai siswa baru, ia sudah merasakan kejanggalan yang membuatnya tak nyaman.
Lembaran peraturan macam apa sih ini? Hanya orang gila yang mampu membuat peraturan seperti ini.
Beberapa kali Halilintar membaca peraturan yang diberikan khusus untuk kelas yang dia tempati, hei! Halilintar ini murid baru loh, tapi kenapa dia merasa seperti dirundung oleh murid kelas lain?
Beberapa siswa dan siswi di sana terlihat kaku ketika Halilintar masuk ke kelas itu pada awalnya. Pemuda bernetra ruby ini mengira karena mereka belum saling kenal, ternyata karena ini toh.
"Hei, lo udah setuju sama peraturan buat kelas ini kagak? Kalau belum mending lo pindah ke kelas lain aja sebelum celaka," saran seseorang pemuda dengan badan gempal.
"Belum," balasnya, Halilintar hanya mengatakan itu tanpa menoleh.
"Peraturan macam apa ini?" gumam Halilintar, dia sudah belasan kali membaca aturan yang tertulis di sana.
"Lo kalau mau pindah lebih baik secepat mungkin sebelum mereka marah karena ada penghuni baru di kelas ini," ujar pemuda yang mengajak Halilintar bicara.
"Gopal, udahlah. Biarin aja si murid baru itu, palingan dalam waktu sehari dia langsung pindah sekolah," kata perempuan dengan kacamata bulat bertengger di atas hidungnya.
"Tapi, Ying ...."
"Gopal, Ying, cepat diam!" seru perempuan berjilbab yang duduk di samping Ying.
Halilintar mengerjap, matanya menangkap tatapan tajam dari perempuan berjilbab itu. Ia mengenal tatapan seperti itu, tatapan yang mengandung ancaman terselubung. Seketika, bulu kuduknya berdiri.
"Kenapa harus diam?" tanya Halilintar, suaranya datar.
"Karena ini bukan urusan lo," jawab perempuan berjilbab itu ketus.
Halilintar tahu perempuan itu, siswi yang bernama Yaya adalah ketua kelas di sana. Daripada memulai pertengkaran, lebih baik Halilintar fokus membaca semua peraturan itu.
Peraturan pertama yang Halilintar baca, dilarang mengucilkan dan mengabaikan orang lain. Nah, Halilintar bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di kelas ini sudah diabaikan.
Halilintar melompati peraturan pertama lalu membaca peraturan kedua, wajib membelikan makanan untuk kelas lain.
"Ini mah namanya morotin anak kelas X IPA 1 doang," gumam Halilintar dengan kesal.
Matanya melirik sinis pada peraturan ketiga, tidak boleh merundung murid lain dan tidak boleh menempati bangku kosong pojok kanan dekat meja guru.
"Peraturannya aneh banget," gumam Halilintar, dia memilih meletakkan lembaran itu pada loker mejanya.
"Malas baca peraturan selanjutnya," gumamnya, Halilintar hari ini banyak bicara sendiri gara-gara diabaikan teman sekelasnya.
Parah sekali, padahal Halilintar sudah terlanjur duduk di bangku kosong yang dimaksud dalam lembar peraturan itu. Apakah Halilintar akan dirundung cuma gara-gara itu?
Halilintar menghela napas panjang. Ia menatap kosong ke luar jendela, pikirannya berkecamuk. Baru saja ia menjadi siswa baru, Halilintar sudah harus berhadapan dengan situasi yang aneh dan tidak menyenangkan.
Peraturan-peraturan aneh yang dibuat oleh seseorang yang tak ia kenal, ditambah lagi dengan sikap acuh tak acuh dari teman sekelasnya, membuat Halilintar merasa seperti dikucilkan.
Halilintar mencoba untuk memahami situasi ini. Mungkin saja ada alasan di balik peraturan-peraturan aneh itu.
Pemuda itu mendengkus kasar ketika melihat bangku di sampingnya yang kosong, padahal ada tas berwarna biru di kursi itu. Kemana si pemilik tas ini?
Halilintar kembali menatap lembaran peraturan yang tadi ia letakkan di loker mejanya. Matanya terpaku pada peraturan yang melarang menempati bangku kosong di dekat meja guru. Apakah bangku itu memang memiliki sejarah kelam atau kutukan tersendiri?
"Anjir lo kenapa duduk di bangku kosong deket meja guru, hah!" teriakan dari pemuda bernetra safir dengan topi biru miring ke kanan membuat Halilintar terlonjak dari bangkunya.
"Kenapa emang? Bangku ini doang yang kosong," balas Halilintar setelah menenangkan degup jantungnya, sial, hampir saja pemuda itu kena serangan jantung.
"Gue baru aja ke wc satu jam kenapa udah ada murid baru di kelas sih? Mampus gue nanti kena amuk dia," gumam pemuda itu.
Halilintar melihat nama yang tertulis pada seragam teman sebangkunya itu. Taufan, namanya seperti orangnya, ribut sekali.
"Lo mending cabut dari kelas ini, kalau perlu jangan sekolah di sini lagi deh," ujar Taufan setelah duduk di bangkunya.
"Kenapa?" Halilintar mengernyitkan dahinya.
"Pake nanya si anjir, ntar lo kena rundung habis-habisan sama satu kelas, mau gitu?" Taufan bertanya dengan nada ngegas.
Halilintar mendengkus kasar, senyum sinis tersungging. "Coba aja usir gue dari sekolah ini kalau bisa," tantangnya.
Taufan terbelalak mendengar ucapan Halilintar. Ia tak menyangka siswa baru ini akan seberani itu. Selama ini, tak ada seorang pun yang berani melawan peraturan aneh di kelas mereka. Biasanya, murid baru akan langsung kabur ketakutan setelah mendengar cerita tentang kelas mereka.
"Lo beneran mau cari gara-gara sama seluruh kelas?" tanya Taufan dengan nada tidak percaya.
Halilintar hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kenapa nggak? Gue nggak takut sama lo semua."
Taufan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Merasa bingung dengan sikap Halilintar yang begitu berani. Biasanya, murid baru akan langsung menurut pada peraturan kelas dan tidak akan berani melawan.
"Lo nggak bakal nyesel nanti?" tanya Taufan sekali lagi, berharap Halilintar akan berubah pikiran.
Halilintar tersenyum miring. "Kita lihat aja nanti."
Taufan menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah pikiran Halilintar. Ia hanya bisa berharap agar Halilintar tidak mengalami hal-hal buruk.
"Gue udah ngingetin lo," kata Taufan sebelum mengeluarkan bukunya dari dalam tas.
Halilintar memperhatikan Taufan yang kembali sibuk dengan dunianya sendiri. Ia merasa sedikit kasihan pada Taufan. Pemuda itu sepertinya hanya ingin menolongnya.
Bel istirahat berbunyi nyaring, mengagetkan Halilintar yang sedang melamun. Pemuda itu melihat teman-teman sekelasnya berhamburan keluar kelas.
"Lo mau kemana?" tanya Taufan pada Halilintar.
"Mau ke kantin," jawab Halilintar, dia melirik pintu kelas.
"Lo nggak takut sendirian?" tanya Taufan lagi.
Halilintar menggelengkan kepala. "Kenapa harus takut?"
Taufan hanya menggelengkan kepala dan kembali fokus pada bukunya.
Bersambung.
Yo, aku kembali dengan fanfik baru
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Halilintar : Bound by Rules
FanfictionHalilintar selalu merasa asing di kelasnya sendiri. Di tengah keramaian X IPA 1, dia tak pernah benar-benar diterima. Semua mata menghindarinya, bahkan dia tak diterima untuk duduk di bangku kosong dekat meja guru. Apa yang terjadi pada teman barun...