3. Bertengkar dan kasus lama

47 12 42
                                    

Di sisi lainnya terlihat Taufan membersihkan pecahan gelas di kamar asrama yang ditempati Blaze.

"Sabar Blaze, gue gak akan biarin orang lain gantiin posisinya Ice di kelas gue," kata Taufan, dia berusaha sabar bahkan ketika Blaze melemparkan gelas padanya.

"Tapi kenapa si Halilintar itu bisa masuk ke kelas itu dan duduk di bangkunya Ice?" Blaze bertanya sambil menendang kursi di dekat meja belajar.

"Itu semua terpaksa, gue juga baru tahu kalau ada murid baru di kelas gue," balas Taufan, dia menghela napas panjang ketika Blaze masih misuh-misuh di depannya.

Taufan menghela napas panjang sekali lagi, berusaha menenangkan diri. "Blaze, dengerin gue dulu. Gue tahu lo lagi kesel, tapi kita gak bisa terus-terusan kayak gini."

Blaze menatap Taufan dengan tatapan tajam. "Terus gue harus gimana? Biarin aja orang asing seenaknya duduk di bangku Ice?"

"Gue juga gak suka, tapi kita gak bisa apa-apa. Kepala sekolah udah mutusin gitu." Taufan mencoba menjelaskan dengan nada yang lebih lembut.

"Tapi kenapa harus kelasnya Ice, kenapa harus di bangkunya Ice? Kenapa gak kelas lain aja?" tanya Blaze, suaranya mulai meninggi.

"Gue gak tau kenapa harus kelas gue. Mungkin karena kebetulan kelas kita yang jumlah muridnya 29 itu harus ditambah satu murid lagi sejak Ice hilang." Taufan berusaha mencari alasan yang masuk akal.

Blaze mendengkus kasar. "Gue gak terima!"

Taufan mengacak rambutnya frustasi. "Gue tahu, tapi apa yang bisa kita lakuin? Kita gak bisa ngelawan keputusan kepala sekolah."

Blaze terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah jendela. Setelah beberapa saat, dia berbalik ke arah Taufan.

"Gue gak akan pernah terima Halilintar di kelas dan bangku milik Ice," kata Blaze dengan senyum sinis.

Taufan mengerutkan keningnya. "Maksud lo?"

Blaze tersenyum sinis. "Lo tahu kan apa yang harus kita lakuin?"

Taufan menggelengkan kepalanya cepat. "Jangan bilang lo mau ngelakuin hal bodoh lagi!"

Blaze tertawa mengejek. "Kenapa? Kenapa lo takut?"

"Gue gak takut, tapi gue gak mau kita berdua kena masalah lagi."

"Kita didukung kakak kelas kalau lo lupa," kata Blaze setelah mendengkus pelan.

"Lo pikir kita bakal kena masalah kalau cuma ngelakuin hal buat ngusir Halilintar dari kelas itu?" tanya Blaze dengan nada menantang.

Taufan terdiam, dia tahu Blaze tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Blaze, please jangan. Gue mohon," kata Taufan dengan suara bergetar, ingatannya tentang korban yang pernah mereka buat keluar dari sekolah itu masih jelas.

"Lo takut karena murid barunya kali ini cowok bukan cewek?" tanya Blaze sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Lo pikir dengan cara kayak gitu masalahnya bakal selesai?" tanya Taufan pada temannya.

Blaze semakin mendekat, wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Taufan. "Lo mau kita lakuin apa kalau bukan kayak biasanya?" bisik Blaze.

Taufan menutup matanya erat-erat. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Keesokan harinya, Kelas X IPA 1 terasa sunyi senyap pada pagi itu. Sinar matahari menyelinap lembut menembus jendela, menerangi bangku-bangku kosong. Di sudut depan kelas, Halilintar duduk sendirian, tenggelam dalam dunianya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Boboiboy Halilintar : Bound by Rules Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang