Prolog: Malam dan Api

5 0 0
                                    

Di tengah hutan yang tenang, tersembunyi sebuah desa kecil bernama Alnair. Desa ini adalah tempat yang damai, jauh dari konflik dan perang. Penduduknya hidup sederhana, bekerja di ladang dan beternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi Hideki, seorang anak berusia sepuluh tahun, hidup di desa ini selalu terasa nyaman. Ia biasa bermain di ladang bersama teman-temannya, dan membantu orang tuanya mengurus tanaman gandum. Namun, hari itu semua berubah. Langit yang awalnya cerah mendadak dipenuhi awan hitam tebal. Angin dingin berembus kuat, membuat para penduduk desa saling memandang cemas. Hideki yang sedang bermain di pinggir desa merasa suasana jadi aneh. Ia melihat ayahnya berdiri di depan rumah, menatap langit dengan pandangan serius.

"Hideki! Cepat pulang!" teriak ayahnya dari kejauhan.

Hideki, yang awalnya tidak mengerti, segera berlari menuju rumah. Sesampainya di sana, ibunya sudah menunggunya di ambang pintu, terlihat khawatir.

"Ada apa, Bu?" Hideki bertanya, bingung.

"Tunggu di dalam. Jangan keluar, apapun yang terjadi," kata ibunya sambil menggenggam tangan Hideki erat.

Tak lama kemudian, teriakan terdengar dari arah desa. Asap hitam mulai mengepul, disertai suara derap kuda dan jeritan penduduk. Hideki, yang mengintip dari jendela kecil di rumahnya, melihat prajurit berpakaian zirah hitam menyerbu desa, membawa pedang dan obor. Mereka membakar rumah-rumah dan membunuh siapa saja yang mereka temui.

"Ayahmu harus melindungi kita," bisik ibunya dengan nada gemetar, namun ada ketakutan di matanya.

Ayah Hideki kemudian mengambil pedang tua dari gudang kecil di belakang rumah.

"Jaga Hideki. Aku akan coba menghentikan mereka," kata ayahnya sebelum berlari keluar.

Hideki mendekap erat tangan ibunya, ketakutan menyelimuti seluruh tubuhnya. Dia ingin ikut membantu, tapi ibunya memintanya tetap di tempat. Mereka mendengar suara bentrokan dari luar, dan setiap detiknya terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Tiba-tiba, pintu rumah mereka ditendang terbuka, dan dua prajurit dengan wajah dingin masuk.

"Ini yang tersisa," kata salah satu dari mereka sambil melirik Hideki dan ibunya.

Ibunya segera berdiri di depan Hideki, melindunginya dengan tubuhnya sendiri.

"Tolong... jangan," pinta ibunya.

Namun, tanpa ampun, salah satu prajurit itu menghunuskan pedangnya ke perut ibunya. Hideki berteriak histeris, melihat darah mengalir dari tubuh ibunya yang perlahan terjatuh ke tanah.

"Ibu... bangun! Tolong, bangun!" isak Hideki, tapi ibunya tak lagi bergerak.

Air mata menetes deras dari mata Hideki, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terasa lemah, kakinya gemetar. Sebelum dia sempat kabur, salah satu prajurit itu menangkapnya dengan kasar.

"Anak ini akan kita bawa," katanya. "Raja Iblis butuh persembahan."

Hideki tak paham apa yang mereka maksud, tapi rasa takutnya makin memuncak. Ia mencoba melawan, menendang dan berteriak, namun sia-sia. Dia diseret keluar rumah, sementara desa di belakangnya terbakar habis. Di luar, semua yang dikenalnya telah tiada. Tubuh ayahnya tergeletak tak bernyawa di jalan, dan rumah-rumah hangus menjadi abu. Seluruh hidupnya runtuh dalam satu malam.

Hideki dibawa ke sebuah kereta besi bersama dengan beberapa penduduk yang masih hidup, meskipun sebagian besar di antaranya terluka atau ketakutan setengah mati. Mereka dijadikan tahanan oleh pasukan Kerajaan Galespire. Desa yang dulu damai kini hanya tinggal kenangan kelam, dan Hideki hanyalah salah satu dari sekian banyak korban yang diseret menuju penjara Kerajaan Galespire.

Lusiurandum the celestialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang