Bab 1

573 6 0
                                    

Tokoh:

Halimah ibuku

Burhan ayahku

Ardi (Tokoh utama)

Amira (adikku)

Pak Bambang (ayah Andini)

Andini teman sekolah amira.

Ibu Yati penjual kopi misterius

Jalan hidup manusia memang tidak bisa ditebak, apa yang kamu kerjakan hari ini menentukan masa depanmu di hari esok.

Sering aku dengar kalimat motivasi itu dari para motivator terkenal, baik dari buku atau media lainnya yang mengingatkan tentang pilihan hidup manusia ke jalan yang benar.

Mungkin ini jalan hidupku menjadi orang gagal membangun kehidupanku sendiri yang orang bilang sampah masyarakat, bahkan beban keluarga. Hidup di jalanan bersama teman-teman menikmati kehidupan yang bebas tanpa beban, tertawa, bersenda gurau, menari sambil mabuk dan memakai obat-obatan yang dilarang seperti tramadol dan sejenisnya.

Sudah tidak terhitung umpatan, cacian dan sumpah serapah yang aku terima dari ayah serta ibu. Sudah tak tersisa bagian tubuh yang tidak tersentuh batang sapu ijuk dan rotan menghiasi tubuhku. Ayah yang memberi bekas pukulan itu di punggungku, namun aku tidak pernah sekalipun melawannya hanya meringis menahan rasa sakit dan ngilu di tulangku.

Tapi, segalak-galaknya mereka. Hanya ibu yang tidak tega anak yang dikandungnya selama 9 bulan, 2 tahun di susunya dengan penuh kasih sayang, tidak tega menyaksikan anaknya dipukuli oleh ayah sekalipun aku sering juga di marahinya.

"Sudah pak! Sudah! Jangan dipukul lagi anak kita...! Kasian paakk!" Kata ibu melindungiku dengan tubuhnya sembari mengisyaratkan tangannya sebagai tameng untuk menahan pukulan batang sapu yang akan mendarat di tubuhku.

"Bu?! Biar ayah hajar anak sialan ini! Bikin malu keluarga kita saja di mata tetangga! Kerjaannya mabuk, nongkrong dan bergaul dengan anak-anak yang gak jelas masa depannya!" Balas ayah menimpali omongan dan pembelaan ibu.

"Iya pak! Ibu tahu anak kita menyusahkan kita. Tapi, pak! Ibu tak sanggup melihat anak kita diperlakukan seperti ini! Meskipun ibu juga terkadang kesal karena kelakuannya.." balas ibu membelaku lagi.

"Akkhh!" Ayah melempar gagang sapu itu ke lantai lalu pergi meninggalkanku dan ibu.

"Ardi, sampai kapan kamu bersikap seperti itu? Kamu gak sayang diri kamu sendiri? Gak sayang sama ibu?" Ucap ibu mencoba kembali menasehati ku sambil melihat-lihat kulit punggungku yang membiru.

"Gak apa-apa Bu. Makasih ya Bu? Ibu selalu membela Ardi dari pukulan ayah. Maafkan Ardi Bu? Ardi selalu buat susah ibu?" Kataku sambil duduk meringis meraba punggungku yang sakit.

"Maaf aja gak cukup Ardi. Banyak hal positif yang harus kamu lakukan tanpa harus mabukan dan bergaul dengan anak-anak jalanan. Kamu sudah bukan anak kecil lagi, usiamu sudah 21 tahunan. Seharusnya bisa memilah dan memilih teman yang baik.." ucap ibu panjang lebar mengingatkanku seperti biasanya, namun kali ini aku merasa kasihan juga melihat ibu kesusahan karena kelakuanku.

"Ibu harap kamu bisa berubah, Ardi." Lanjut ibu berkata dengan lembut sambil membenarkan baju yang kusut, lalu pergi keluar kemudian balik lagi membawa handuk.

Sesaat sebelum ibu keluar tadi, aku masih sempat-sempatnya memperhatikan ibu. Selain memiliki sisi welas asih alias kasih sayang yang tidak dimiliki wanita manapun selain ibu sendiri, aku benar-benar dibuat kagum dengan lekukan tubuhnya. Padahal bukan kali ini saja aku memperhatikan ibuku disertai pikiran mesum, yang seharusnya tidak dipikirkan oleh seorang anak.

Meski sudah berumur 40 tahunan, ibu memiliki postur tubuh yang lumayan menarik perhatianku. Berkulit putih, rambut hitam panjang, tinggi sekitar 160 an dengan buah dada yang montok hampir keluar ketika memakai BH, dan bongkahan pantatnya yang bulat lenggak-lenggok ketika berjalan membuatku sering berpikir kotor.

"Nih handuknya. Mandi sana! Bau asem gitu tubuh kamu... " Kata ibu sambil memberiku handuk yang biasa aku gunakan. Meskipun aku sudah dewasa ibu tetap memperlakukan ku seperti anak kecil saja.

"Bukannya Ardi juga bisa ambil sendiri, Bu?. Gak sekalian ibu juga mandi?" Kataku sambil nyengir.

"Astaghfirullah ini anak. Bukannya bilang makasih, malah ngajakin mandi bareng! Huuuhhhhh!!" Ucap ibu mencubit pinggangku dengan keras. Mungkin karena karakter ku ini tidak membuat ibu beneran marah ketika ku ucapkan kalimat itu.

"Aduh! Aduh! Sakit Bu...?! Ardi cuman bercanda kok." Kataku sambil menahan rasa sakit di pinggang.

"Mending kamu hanya ibu cubit. Kalau ayahmu mendengar omongan barusan, sudah pasti babak belur kamu dipukuli lagi!". Ucap ibuku hampir menjitak kepalaku namun tidak jadi hanya sekedar isyarat saja.

"Kalau ada ayah mah Ardi gak berani Bu. Berhubung ibu mah orangnya baik, Ardi asal ngomong aja. Tapi tidak mengurangi rasa hormat ardi pada ibu.." kataku mencium tangannya tanda aku menghormatinya.

Benih-Benih Hasil Inc_st (Inc_st Warning)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang