Marc berulang kali menghela nafas, seperti mempunyai beban berat. Aou mengerutkan dahi, sedari tadi dia memperhatikan gerak-gerik Marc yang tidak punya semangat hidup padahal mereka sedang berkumpul dan bermain kartu bersama.
"Kau kenapa, Marc?" Phuwin membuka pembicaraan karena bukan hanya Aou yang merasakan perbedaan sikap Marc tapi hampir semua sahabatnya.
Sejak putus dengan Poon, Marc tampak linglung dan menjadi pendiam seperti bukan Marc pada umumnya. Memang Marc jarang bicara, tapi sungguh sangat berbeda dari biasa.
"Penyelasan memang selalu datang belakangan." Celetuk Boom, Marc melirik pacar Aou sinis.
Boom terkekeh kecil sembari menikmati kacang di depannya, balas menatap berani ke arah Marc.
Marc mendengus kesal kemudian menutup mata seakan tidak ingin membicarakan apapun.
"Dari awal sudah kuperingatkan untuk tidak bermain-main dengan perasaan seseorang. Sudah aku kasih tahu bahwa Poon menganggap serius perasaanmu. Sekarang, dia tahu kau main-main, menjadikannya pelampiasan. Jika kau anggap dia baik-baik saja dan menerima ini dengan cepat, memang kau bajingan!" Cerca Boom, meski ditenangkan Aou, Boom tidak berhenti menatap bengis ke arah Marc.
Marc mendecih, "cih, diam saja jika tidak tau kebenarannya. Seakan tahu aku sedang memikirkan dia saja." Marc mengambil minuman dan meminumnya dalam sekali teguk.
Boom tersenyum kecil, "selain bajingan, pintar mengelak juga." Boom beranjak menuju kamar Aou. Lelah sekali menghadapi sikap munafik Marc.
Aou, Pond, Phuwin, Winny tinggal dalam satu kontrakan dan mereka sedang berkumpul di ruang tamu.
Marc menatap Aou, "ajarkan pacarmu untuk tidak ikut campur urusan orang lain, jika bukan pacarmu, sudah kupukul dari tadi." Marc memberi peringatan.
Bukannya takut, Aou malah membela Boom.
"Perlu dipahami, Boom bukan orang lain. Dia begini karena perhatian denganmu dan Poon. Terutama Poon, kau tahu kalo mereka sangatlah dekat. Boom juga ikut merasakan dampak kesedihan Poon. Mereka yang dulu tak terpisahkan, kini Poon menjaga jarak. Berulang kali Boom ingin memberi tahu, tapi melihat kebahagiaan Poon bersamamu, dia ingin memberimu kesempatan. Tapi melihat sekarang, Boom juga menyesal tidak memperingatkan Poon."
Suasana yang tadi menyenangkan kini terasa menegangkan.
Pond menepuk pundak Marc dan Aou untuk berhenti berdebat.
"Minum,minum,minum." Winny mengangkat gelas dan memberi Marc serta Aou satu persatu.
Seakan ingin membuang beban dalam pikiran, Marc tidak berhenti minum sampai benar-benar tertidur.
*******
Poon menidurkan kepala di atas meja. Lelah sekali, mondar-mandir mencari dosen pembimbing yang sangat sulit dicari keberadaannya. Padahal Poon sudah mengirim pesan dan beliau membalas jika berada di kantor, tapi saat Poon menghampiri, dosennya minta bertemu di ruang komputer dan saat Poon kesana, belum ada lima menit, dosen malah membatalkan perjanjiannya. Tahu gini, dari awal saja bilang kalo tidak mau bimbingan. Jadi tidak menguras baterai tubuh Poon.
Poon mengerucutkan bibir sebal, memaki dalam hati yang terjadi hari ini.
Dering telepon membuyarkan pikiran Poon yang rehat sejenak. Terpampang emotik '🖕' di layar ponsel. Poon tidak ingin menjawab, karena akan benar-benar menguras seluruh energinya. Namun dering tidak berhenti, semakin membuat Poon kesal.
"Kenapa?" Poon bertanya tanpa basa-basi.
"Apa begitu cara bicara dengan orang tua?"
Orang dibalik emotik '🖕' adalah ayah Poon.
"Anda tidak akan sudi menelpon saya jika tidak ada sesuatu."
"Kapan wisuda?"
"Bahkan jika saya wisuda, Anda tidak akan menjadi tamu undangan."
"Pawin bulan depan wisuda."
"Urusannya dengan saya? Anda pasti sangat bangga dengan keponakan Anda, bukan? Jangan libatkan saya untuk merayakan kesenangan Anda."
"Pulanglah bulan depan."
Poon ingin menolak tapi panggilan sudah dimatikan. Poon tidak dekat dengan keluarga manapun termasuk ayahnya sendiri. Bisa terbaca dari komunikasi mereka. Poon yang sudah kesal dengan dosen, semakin kesal setelah mendapat panggilan dari ayahnya.
Memang, semua tentang Pawin tidak bisa Poon kalahkan. Tapi, hidup bukan perlombaan. Poon tidak ingin hidup yang seperti itu, menjadi bayang orang lain. Poon ingin menikmati waktunya sendiri, meski merasakan sakit, Poon sudah terbiasa.
Itulah kenapa, Poon nyaman dengan Marc, memberikan seluruh cintanya. Mempercayakan hati pada Marc, menjadikan Marc tempat pulang ketika Poon suntuk dengan kehidupannya sendiri. Kalau begini, kemana Poon harus mengadu? Sedang tidak ada rasa percaya pada siapapun. Poon hanya punya diri sendiri untuk bercerita dan mendapatkan jawaban atas keresahannya, tapi...apakah cukup?.
Jika saja itu orang lain, Poon tidak akan merasakan sakit sedalam ini. Marc dan Pawin seakan menjadikan Poon lelucon di hidup mereka.
Tanpa sadar, air mata menetes namun Poon segera menghapus. Poon menghela nafas panjang seakan helaan nafas itu bisa menghempaskan seluruh beban.
Seseorang menaruh minuman dingin di depan Poon, ketika mendongak, Poon menemukan Marc tengah menatapnya. Poon mengacuhkan Marc, memilih untuk pergi menjauh. Poon sudah sangat lelah, dia sudah kehabisan energi, malas harus berhadapan dengan salah satu sumber masalah. Marc menghalangi, menarik Poon dalam pelukan. Jika dulu, Poon sangat mengharapkan ini tapi sekarang, bahu Marc sangat menyakitkan. Poon berontak, mendorong Marc dan menatap Marc dengan marah. Apa artinya sebuah pelukan jika tidak ada makna menenangkam didalamnya.
Marc mencegah Poon pergi, "Poon..." panggil Marc dengan nada melas, "ada pasar malam disekitar kampus, mau kesana?" Ajak Marc seakan mereka tidak ada masalah apapun.
"Tidak."
Marc diam sejenak, "mau nonton? Film yang kau tunggu akan tayang perdana hari ini." Marc tersenyum masih memegang tangan Poon.
Poon menaikkan satu sudut bibirnya, meledek ke arah Marc, "seperti kau paham saja tentangku. By the way, aku tidak minat menghabiskan waktu denganmu bahkan untuk sedetikpun. Waktuku sudah terbuang sia-sia, aku tidak ingin mengulang kesalahan sama." Tanpa kata, Poon meninggalkan Marc.
Marc kembali menghalangi langkah Poon.
"Aku sudah minta maaf, aku hanya ingin menebus kesalahanku. Jika kau menjaga jarak seperti ini, aku yang tidak baik-baik saja."
"Berhenti berlakon!" Seru Poon, "tidak perlu ada yang ditebus, aku tidak ingin berurusan denganmu lagi, tidakkah kau mendengar dan mengerti?! Aku sudah lelah, Marc! Tolong! Tolong berhenti menggangguku!" Suara parau Poon terdengar, dalam satu hari, beban Poon terasa semakin berat.
"Aku ingin tetap berteman denganmu..."
Poon memotong pembicaraan Marc, "aku tidak mau! Aku sangat berterima kasih jika kau dapat memahami perasaanku sesungguhnya. Biarkan aku menjadi asing bagimu, seperti tiga tahun lalu. Aku sangat menyesali yamg terjadi diantara kita. Aku menyesal mengenalmu. Aku menyesal pernah menumpukan hidupku padamu. Aku menyesal, aku menyesal, sangat menyesal. Jadi tolong, jangan buat aku semakin membencimu." Poon menatap tajam mata Marc kemudian berlalu meninggalkan Marc yang terpaku mendengar pengakuan Poon.
Poon yang selalu manja dan tanpa malu menebar rasa cinta...kini terasa mati, matanya kosong...tiada binar lagi ketika menatap Marc. Asing? Bahkan orang asing akan tetap tersenyum ketika bertemu mata. Menyesal? Tapi Marc tidak menyesali kebersamaannya dengan Poon, hanya saja Marc tidak tahu hubungan seperti apa yang dia jalani selama dua tahun ini karena Marc begitu menikmati kehadiran Poon dalam hidupnya.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Love or Friendship
FanfictionAku ingin jadi cinta dan sahabatmu tapi mungkin aku tidak pantas bahkan untuk salah satunya.