4

42 6 3
                                    

Sudah dua minggu berlalu, tidak ada gangguan berarti dari Marc maupun sahabatnya. Poon lega, setidaknya mengurangi capek hati meski sejujurnya Poon merasa sepi. Katakanlah Poon munafik, mengatakan baik-baik saja padahal sebaliknya. Berpura-pura kuat padahal kaki sudah tidak mampu menopang. Perlu sandaran namun kini tidak percaya pada siapapun kecuali diri sendiri. Bahkan, Poon merasa ragu...apakah benar dirinya mampu menahan?.

Lelah sekali...tapi tidak ada satupun yang peduli dengan perasaan Poon sesungguhnya. Mereka hanya melihat kulit keras Poon tanpa mau mengupasnya perlahan.

"Selamat malam, Poon." Sapa Boom, Poon terperanjat, tersenyum kecil dan membalas sapaan Boom.

Suasana tempat kerja Poon tidak seramai akhir pekan, maka dari itu Poon tidak sadar jika akan melamunkan kesepiannya. Fyi, Poon hanya sibuk dengan Tugas Akhir, jadi pemuda ini memutuskan untuk menghabiskan waktu suntuknya dengan bekerja daripada terus berkutat dengan laptop dan kertas.

"Tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." Boom tersenyum, "apakah tugas kuliahmu sudah selesai?" Tanya Boom, Poon menggeleng malu.

Boom nampak berpikir, kemudian menatap dalam kearah Poon yang sibuk memasukkan pesanannya.

"Kau bisa bertanya pada kakak jika ada kesulitan, jika kau lupa, kakak dulu berkuliah jurusan yang sama denganmu." Boom mengajukan diri, Poon hanya membalasnya dengan senyuman.

"Total pesanan 200 Baht, kak." Ujar Poon, dia tidak ingin memperlebar pembicaraan ini.

"Poon, terlepas dari masalahmu dengan Marc, kau akan selalu jadi teman serta adikku. Jangan sungkan berbagi apapun seperti dulu."

Poon juga mau bercerita tapi dia tidak bisa. Rasanya lebih berat ketika mulut ingin mengungkapkan bebannya. Lebih baik terkubur dalam diri karena Poon tidak mempercayai siapapun bahkan orang baik di depannya yang menawarkan diri ingin terlibat.

"Kak Boom tenang saja, tugas akhirku tidak berat kok. Cuma lagi jenuh saja jadi menggantikan teman kerja yang izin."

"Yasudah, pesanan kakak tidak jadi bungkus. Kakak makak disini, nemenin kamu."

"Tidak usah, kak. Lagian aku kerja bukan main. Jadi, tidak perlu ditemenin." Tolak Poon namun Boom tidak mengacuhkan perkataan Boom, malah melenggang ke tempat biasa Boom duduk.

Poon menghela nafas saat Boom sudah sibuk dengan ponsel. Masalahnya adalah Boom tidak memesan untuk dirinya sendiri, makanan yang dipesan Boom agak banyak jika harus dimakan sendirian.

Yeah, benar saja yang ada dipikiran Poon. Aou, Pond, Phuwin menyusul Boom ke tempat Poon bekerja. Poon menghela nafas lega ketika hanya mereka berempat saja yang berada disini. Poon bergegas ke belakang untuk istirahat karena dia mendapat jatah selama satu jam.

Poon pergi ke loker untuk mengecek ponsel, berharap ada pesan masuk yang menanyakan keadaannya atau balasan dosen pembimbing yang meluluskan tugas akhir Poon, namun nihil...tidak ada notifikasi apapun. Poon menghembuskan nafas, kemudian menaruh ponsel ke saku celana, bergegas ke kamar mandi untuk berganti baju. Poon ingin menghirup udara segar, berharap waktu satu jam bisa membuat keadaan Poon membaik.

Poon kesal, ponselnya terus berbunyi saat dia sedang berganti baju. Manusia memang aneh, ketika ponsel sepi mengeluh, ponsel berisik lebih mengeluh. Poon menatap layar ponsel dan mendecak kesal saat '🖕' terpampang dilayar.

"Lama sekali, sengaja tidak ingin mengangkat panggilanku."

"Tidak ada waktu."

"Cih! Pawin sudah balik ke Thailand."

"Tidak penting. Ada apa menelpon saya?" Padahal jantung sudah berdetak kencang, seakan tidak siap melihat Pawin kembali berkumpul bersama mereka.

Rasa iri menjalar, kenapa Pawin bisa sedangkan dia tidak?. Poon merasa dia baik dan tidak neko-neko. Poon selalu berusaha mengimbangi suasana mereka tapi kenapa Poon selalu dikecualikan bahkan oleh ayahnya sendiri.

Love or FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang