1. Angka-Angka di Kepala

317 45 21
                                    

Hampir pukul dua dini hari, Rona masih belum dapat memejamkan mata. Kamarnya sudah dirundung gelap sejak tiga jam lalu, tetapi tidur tak kunjung datang. Ia hanya berguling tak jelas di tempat tidur, merapal segala doa-doa yang mampir di kepala.

Tidak mempan.

Mendengarkan musik juga tak ada hasilnya. Matanya masih nyalang menatap langit-langit gelap. Rona sempat berpikir untuk bangun dan menyambar sepatu lari. Di film-film, ketika orang-orang dilanda insomnia, mereka akan lari atau jalan kaki tanpa tujuan, menyusuri jalanan kota, sekadar membebaskan pikiran. Rona juga ingin mencobanya. Tapi sayangnya di negeri tercinta ini, di kota ini, berpelesir sendirian di waktu dini hari berpotensi besar membuat diri masuk berita koran atau televisi, sebagai mangsa empuk para kriminal atau orang kurang kerjaan di luar sana.

Rona melancarkan strategi lain. How I want a drink alcoholic of course after the heavy lectures involving quantum mechanics. Rona tidak minum minuman beralkohol-dia benci minuman keras. Tiga koma satu empat satu lima sembilan dua enam lima tiga lima delapan sembilan tujuh sembilan.

Apa lagi? Rona mengerutkan kening. Setelah sembilan lalu apa? Ia mengingat-ingat jembatan keledai yang diajarkan ayahnya. And if the lectures were boring? Tiga dua tiga tujuh empat enam. Selanjutnya?

Masih belum mempan juga. Rona menggerutu dalam hati, mencibir tips yang dilontarkan sang ayah. Mana ada merapal nilai pi bakal membantu mendatangkan kantuk? Rona malah penasaran setengah mati sekarang tentang digit-digit selanjutnya.

Gusar, Rona menegakkan tubuh. Diraihnya ponsel yang terletak di kusen jendela. Tangannya sibuk menggulir-gulir layar, berselancar di mesin pencari.

3,141592653589793238462643..........

Yang benar saja. Dan masih terus berlanjut tak hingga. Memang dasar bilangan yang tidak rasional.

Sekarang Rona sudah sepenuhnya tak ingin tidur. Dia menyalakan lampu belajar di meja, membiarkan penerangan lembut membasuh kamar. Pantulan dirinya di cermin meja seakan resah. Rambut panjangnya kusut, membingkai wajah oval dan pipi lembut, mata lebar yang tampak kuyu. Kantung matanya tampak jelas bahkan di remang cahaya. Rona mendesah pelan, membuat catatan dalam kepala untuk mengaplikasikan concealer sebelum pergi ke kampus besok.

Gadis itu meletakkan dagunya di lutut, menatap tak minat pada lemari dan rak buku. Mungkin dia bisa membaca buku. Novel yang kemarin dibelinya masih duduk manis dalam segel plastik. Tapi mungkin tidak juga. Ia sedang tidak ingin membaca.

Dari gorden yang tersibak sedikit, cahaya lampu-lampu kota merisik masuk. Rona beringsut, lalu membuka jendela. Angin malam menampar pipinya, meninggalkan jejak dingin bercampur polusi. Jalanan di depan lengang. Hanya sesekali truk muatan barang lewat, deru mesin-mesin kepayahan samar terdengar lewat telinga kanan Rona. Ini tahun pertama dia tinggal di kota ini. Gara-gara pandemi, satu tahun perkuliahan harus dijalani secara daring. Lalu, setelah status pandemi dicabut dan kegiatan di masyarakat berangsur normal, kelas-kelas tatap muka langsung diadakan kembali. Rona harus merantau dan tinggal di kota ini. Dibanding dengan malam-malam di kota asalnya yang riuh, malam di sini tergolong sepi.

Rona tidak suka sepi, karena dengan begitu suara-suara di kepalanya terdengar lebih nyaring. Pekak sekali. Suara-suara itu membawa kembali hal-hal yang seharusnya tidak muncul di ingatan. Seperti, wajah anak laki-laki yang tersenyum penuh arti. Seperti, pasangan suami istri yang berjalan bersisian, lalu hilang ditelan ujung koridor. Rona mengambil napas dalam-dalam. Musik. Ia butuh musik. Dvorak. Musik yang terdengar seperti skor film horor. Atau yang melenakan pikiran hingga suara-suara itu terlelap. Mungkin, Rona bisa ikut terlelap walau tadi ia sudah mencoba cara itu.

Rengkuh RekahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang