Pertama kali Rona melihat Leo secara langsung adalah sore itu di ruang UKM orkestra.
Meski begitu, Rona sudah sering mendengar tentang Leo. Kalau dirunut, mungkin sejak dia baru masuk kuliah, masih mahasiswa baru yang mencoba menggali banyak informasi mengenai kampus. Nama Leo muncul beberapa kali disertai sederet prestasi. Mahasiswa berprestasi tingkat fakultas dan universitas adalah yang paling pertama muncul. Juara kedua olimpiade kedokteran di bidang infeksi tropik. Finalis kompetisi penulisan ilmiah kesehatan internasional. Fotonya terpampang beberapa kali di laman media sosial kampus. Leo juga memberi sambutan di acara orientasi mahasiswa baru.
Singkat kata, Leo populer. Sangat wajar kalau Rona tahu sekilas tentang mahasiswa tingkat akhir itu.
Sekadar tahu saja, tidak sempat melihat secara langsung atau bertatap muka. Saat tahun pertama, perkuliahan dilakukan secara daring sehingga kesempatan itu tidak pernah ada. Saat kuliah mulai dilaksanakan secara luring pun, Rona juga tidak pernah melihat pemuda itu. Selain fakultas mereka berjauhan, jumlah mahasiswa di kampus sangat banyak. Peluang bertemu mungkin hanya seperlimapuluhribusekian, kalau sedang hoki. Rona juga tidak mengutamakan harus bertemu Leo. Memangnya, Leo siapa, sih? Hanya seorang mahasiswa berprestasi, kan? Tidak ada urusannya dengan Rona.
Hingga sore itu di depan ruang UKM orkestra. Sonata karya Saint-Saëns yang dimainkan secara tunggal dengan violin. Leo yang duduk di tengah ruangan, dilimpahi cahaya matahari yang hampir pupus.
Rona jadi tidak bisa mengabaikan Leo, melabelinya sebagai: hanya seorang mahasiswa berprestasi yang tidak ada urusan dengannya—Leo masih tidak ada urusan dengan Rona. Rona yang secara sepihak menjadikan Leo sebagai urusannya. Ia jadi lebih awas, lebih sensitif akan presensi Leo. Sebulan ini, Rona bahkan sudah empat kali melihat Leo. Sungguh suatu hal yang di luar ekspektasi.
Rabu 12 Oktober di gazebo taman Rengganis kampus. Tepat sepekan setelah pertama kali Rona melihat Leo. Sore hari. Rona sedang rapat divisi, Leo lewat di depan gazebo sambil menyandang tas violin yang ramai dengan boneka-boneka gantungan kunci. Mungkin habis dari ruang UKM.
Sabtu siang. 22 Oktober. Rona mengantre di gerai milk tea di mall dekat kampus. Leo berdiri di antrean, hanya terhalang dua orang di depannya. Pemuda itu memesan milkshake stroberi, gula setengah dosis, tanpa topping, serta hazelnut milk tea dengan topping puding susu.
Jumat sore. 28 Oktober. Brooklyn kampus. Leo yang berjalan di bawah kanopi. Rona, dengan megafon di tangan dan isi kepala tak rasional, berlari untuk menghadang langkah Leo. Tiket Buzfest-nya, Kak.
Bukan perilaku yang Rona sekali.
Rona membenturkan kepala ke dinding, lalu mengaduh pelan ketika rasa nyeri menyerangnya. Ivy menatap horor pada temannya itu.
"Kamu stres Teos?" Ivy menyebut nama mata kuliah yang baru saja mereka hadiri.
"Iya," gumam Rona asal. Padahal, ia tidak stres karena mata kuliah Teori Statistika. Rona masih dihantui perilaku impulsifnya pekan lalu. Memikirkan adegan sore itu membuat asam lambungnya naik.
Kamu itu kenapa, sih, Ronaaaaa.
"Beb, menurut kamu bulan Oktober ini ada peletnya, kah?"
Ivy yang tengah mengunyah gehu hampir tersedak mendengar pertanyaan mendadak dari Rona.
"Tiba-tiba ngomongin pelet? Wah, udah stres beneran, ini, bocah," balas Ivy sambil menggeleng-gelengkan kepala, tampak prihatin.
Rona mendesah pelan. Dihitung pakai teori mana pun, peluang melihat Leo lima kali dalam satu bulan harusnya sangat kecil. Rona bukan orang yang suka percaya hal-hal klenik bin takhayul seperti neneknya, tapi kalau terus-terusan hoki berturut-turut begini, ia jadi memikirkan kemungkinan itu juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rengkuh Rekah
RomanceRona jatuh cinta di suatu Rabu sore kelabu, saat hujan merintik dan hawa dingin merambah bumi. Saat itu, Leo berlari kecil menerobos gerimis, menggunakan tangan sebagai pelindung kepala. Sekilas, itulah yang terjadi. Rona yang hari-harinya dipenuhi...