3. Sang Violinis

80 18 1
                                    

Mungkin awalnya Rona hanya iseng mendaftar di berbagai kepanitiaan, tetapi sungguh, ia menikmati kesibukan demi kesibukan yang mengekorinya.

Rona suka berkumpul bersama orang-orang, mendengarkan ide-ide mereka, menanggapi pendapat yang terlontar. Suara-suara yang mereka timbulkan. Erangan kelelahan. Desah kekecewaan. Rona menyukai ekspresi-ekspresi mereka, menyukai kekhawatiran dan kegembiraan, harap-harap cemas mereka akan ketersediaan sponsor dan dana, perihal logistik, doa-doa yang terpanjat untuk kelancaran acara.

Semester ini, jurusan Rona tengah bersiap merayakan hari jadi. Serangkaian acara pun direncanakan untuk memperingati. Seminar nasional, pekan olahraga dan seni, lalu ditutup dengan pentas seni yang menghadirkan penyanyi-penyanyi lokal sampai nasional. Rona yang tergabung sebagai anggota divisi pendaftaran dan pertiketan, jadi sibuk bukan main. Ponselnya lebih sering berbunyi, karena nomornya lah yang terpampang sebagai narahubung di poster-poster.

Sore hari setelah kelas terakhir, berarti waktunya Rona beraksi. Dengan bersenjatakan megafon dan spanduk besar yang telah disiapkan oleh divisi publikasi, Rona menggelar lapak di kaki gapura raksasa yang mengapit jalan utama kampus. Tidak tahu siapa yang memulai, tapi tempat itu sering disebut sebagai Brooklyn kampus. Mungkin terinspirasi dari kawasan Brooklyn di New York yang ramai bak kuali mendidih, menggelegak oleh kegiatan manusia. Tempat tersebut memang strategis. Selain terletak tepat setelah gerbang pejalan kaki yang selalu ramai, tempat tersebut juga berada di kawasan pusat kegiatan mahasiswa, dekat dengan ATM center, masjid raya, serta pangkalan utama transportasi kampus.

"Buzfest-nya, Teh! Pre-sale dua cuma enam lima ribu! Ada Nastasya Arimbi dan Fourier! Yuk! Akang, Teteh, Kakak. Buzfest tanggal lapan belas November!"

"Ayo, Akang, Teteh. Mumpung masih murah banget! Fourier-nya, Tetehku. Yuhu, nonton Mas Panji nyanyi masa muda yang penuh warnaaa. "

Beberapa mahasiswa yang baru saja turun dari odong-odong menoleh ke sumber suara, mendapati gadis dengan rambut tercepol di atas kepala dalam balutan kemeja flanel gombrong abu-abu dan celana jins biru tua sedang berseru ke corong pengeras suara. Gadis itu mencondongkan diri ke temannya yang duduk di undakan gapura.

"Teh April, tolong setel lagunya Fourier, dong. Yang Kisah Kita," bisik Rona pada April. April, mahasiswi tingkat tiga yang juga ketua divisi pertiketan, segera mendekatkan ponsel ke arah megafon.

Tak lama, lagu dengan entakan drum penuh semangat itu berkumandang melatari segala hiruk-pikuk kehidupan di sekitar gerbang lama. Lagu itu juga menarik perhatian orang-orang yang lewat, beberapa tampak berkomat-kamit mengikuti lirik lagu. Dua orang mahasiswi medekati lapak Buzfest, membeli tiga tiket. Rona tersenyum kecil. Fourier memang band kecil. Label rekamannya pun label independen. Namun, salah satu lagu mereka viral di media sosial baru-baru ini, sehingga tak heran banyak orang yang mengenali lagu tersebut. Panitia pensi ketiban hoki tak terkira karena saat negosiasi dulu, Fourier belum seterkenal ini. Harga yang ditawarkan pun tidak semahal penyanyi-penyanyi papan atas tanah air.

"Rona, kamu ngadem dulu, sini. Setel aja lagunya. Muka kamu udah merah banget," tegur April. Rona menyambut tawaran April dengan riang. Walau sudah sore, matahari rupanya masih bersemangat menabur panas.

"Pre-sale dua masih berapa, Teh?" tanya Rona begitu ia duduk di samping April yang sibuk menulis di buku catatan. April menunjukkan angka-angka di atas kertas.

"Seratusan lah. Lumayan."

Kuota tiket presale dua dipatok sebanyak tiga ratus tiket dan dalam waktu dua minggu sudah tinggal seratus tiket saja. Ini rekor. Dulu saat pre-sale satu berlangsung, menjual tiket sebanyak itu susahnya setengah mati padahal harga yang dipatok lebih murah. Hanya empat puluh persen tiket yang terjual. Sejak lagu Fourier viral, banyak orang yang tertarik ingin menyaksikan penampilan band tersebut secara langsung.

Rengkuh RekahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang