Angelin terbangun dengan napas tersengal-sengal. Kamar tidurnya gelap, hanya diterangi sedikit cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela.
Hatinya masih berdebar keras setelah mimpi yang aneh mimpi yang terasa begitu nyata.
Dalam mimpi itu, ia berdiri di tepi laut yang luas, ombak besar menghantam karang di depannya.
Dari kejauhan, suara misterius terdengar, seolah-olah seseorang memanggil namanya.
Ia menatap ke arah laut, tapi tak ada apa-apa selain suara itu. Semakin lama suara itu semakin jelas, seperti bisikan lembut yang datang dari kedalaman laut. Perasaan yang sama kembali muncul: deja vu, seolah-olah dia sudah pernah merasakan semua ini sebelumnya.
Angelin menegakkan tubuhnya di tempat tidur, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Tangannya mengusap wajah, mencoba menghilangkan jejak mimpi itu dari pikirannya. Tapi gambaran ombak dan suara aneh itu masih membekas kuat. Sesuatu di dalam dirinya terasa aneh, seolah ada yang berubah sejak ia bertemu Sagara kemarin.
Ia melihat jam di dinding. Pukul 3 pagi. Masih terlalu dini untuk bangun, tapi tidur sepertinya tidak lagi menjadi pilihan. Angelin turun dari tempat tidurnya, membuka tirai jendela, dan menatap keluar. Hujan yang deras kemarin telah reda, meninggalkan udara yang sejuk dan langit yang jernih. Di kejauhan, ia bisa melihat kilatan laut di bawah cahaya bulan.
Setelah beberapa saat memandangi lautan dari jauh, ia kembali ke tempat tidur dan mencoba memejamkan mata. Namun, suara laut dari mimpinya terus bergema di kepalanya, memanggil-manggilnya. Dia tertidur lagi, meski tidur yang didapatnya tidak tenang.
Keesokan harinya, di sekolah, suasana kelas tampak sama seperti biasa. Angelin berusaha membaur, mengikuti pelajaran dengan fokus, namun pikirannya terus terganggu oleh mimpi aneh yang ia alami semalam. Setiap kali ia melihat Sagara di sudut kelas, perasaan aneh itu kembali muncul. Ada sesuatu tentang pemuda itu yang tidak bisa ia jelaskan.
“Angelin,” panggil Lia, yang duduk di sebelahnya. “Kamu baik-baik saja? Kelihatannya kamu agak pucat.”
“Oh, aku baik-baik saja. Cuma nggak tidur nyenyak tadi malam,” jawab Angelin, berusaha tersenyum.
“Kalau ada apa-apa, ceritain aja, ya,” kata Lia dengan nada khawatir. “Kamu kayak kurang semangat akhir-akhir ini.”
Angelin hanya mengangguk, mencoba tersenyum, tapi di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar kurang tidur. Pertemuan dengan Sagara, mimpi aneh tentang laut, dan suara misterius itu semuanya terasa terhubung, tapi ia tidak tahu bagaimana.