Malam itu, Angelin tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan dari cermin, lautan yang berkilauan, dan sosok pria misterius yang terus memanggilnya. Semakin ia memikirkannya, semakin kuat pula dorongan dalam dirinya untuk kembali ke laut, ke tempat di mana segalanya dimulai. Namun, di sisi lain, ketakutan mulai merayap dalam dirinya. Bagaimana jika ia tidak siap? Bagaimana jika kekuatan yang tersembunyi di bawah laut itu terlalu besar untuk dihadapi?
Pagi harinya, Angelin mengambil keputusan. Ia akan pergi ke laut, ke tempat di mana mimpinya selalu membawa dirinya. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, dan ia harus mengetahuinya.
Ketika ia bertemu dengan Sagara di taman sekolah, ia langsung berkata, "Aku akan pergi ke sana. Ke laut. Malam ini."
Sagara mengangguk pelan, seolah sudah menebak keputusan itu. "Aku akan bersamamu," katanya tanpa ragu. "Kau tidak bisa melakukannya sendiri. Lautan menyimpan banyak rahasia, dan tidak semua rahasia itu ramah."
Malam itu, Angelin dan Sagara meninggalkan kota kecil mereka, berjalan menuju pantai yang terletak tidak terlalu jauh. Langit malam dipenuhi bintang-bintang, dan angin laut yang lembut membelai kulit mereka. Namun, suasana malam itu terasa tegang, seolah-olah lautan mengetahui bahwa sesuatu yang penting akan terjadi.
Sesampainya di pantai, Angelin berdiri di tepi air, menatap ombak yang datang dan pergi. Hatinya berdegup kencang, campuran antara ketakutan dan ekspektasi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Angelin pelan.
Sagara berdiri di sampingnya, menatap lautan dengan penuh kesadaran. "Tunggu."
Dan mereka menunggu. Ombak bergulung dengan lembut, namun tak ada yang terjadi. Hingga, tiba-tiba, air laut mulai bersinar dengan cahaya biru kehijauan yang sama seperti dalam mimpinya. Kilauan itu semakin terang, dan suara bisikan mulai terdengar lagi di telinga Angelin. Namun kali ini, bisikan itu bukan hanya suara samar, melainkan suara yang jelas.
"Kembalilah... takdirmu menunggu."
Dengan hati-hati, Angelin melangkah ke dalam air. Air yang biasanya dingin kini terasa hangat, seolah-olah menyambutnya. Sagara mengikuti di belakangnya. Semakin jauh mereka berjalan, semakin kuat kilauan itu. Hingga tiba-tiba, di depan mereka, air laut terbelah, memperlihatkan sebuah jalan bawah laut yang bersinar dengan cahaya yang tak wajar.
"Kita harus turun," kata Sagara. "Di sanalah segalanya dimulai."