Daerah Istimewah Yogyakarta. Seperti namanya, kota ini istimewa untuk siapa saja yang pernah mengunjunginya. Kota dengan beribu banyak kenangan bagi siapapun yang tinggal disana.
___
Disebuah kedai kopi sederhana yang terletak tak jauh dari jalan utama Malioboro, berkumpul empat pemuda dan seorang gadis kecil duduk di antara mereka.
Keempat pemuda itu tampak tenang memperhatikan sang gadis yang sibuk menggoreskan garis-garis di buku gambarnya membentuk sebuah kerangka gambar sederhana.
Menyesap rokoknya lalu menghembuskannya pelan, salah satu pemuda itu sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat gambaran gadis kecil di sampingnya. "Apa itu? Burung?"
Sang gadis menoleh dengan raut wajah kesal. "Gak ya! Ini tuh gambar mata naga tau!" sergahnya.
Feira Dananjaya, seorang gadis berusia 10 tahun dengan rambut sedikit ikal di bagian ujungnya. Alisnya yang sedikit mengerut menampilkan wajah kesal membuat pemuda itu tergelak.
"Iya deh, iya." Memilih untuk mengalah, Samudra mengusak rambut Feira gemas.
Handika Samudra Pangestu, sang pemilik senyum manis yang selalu saja senang memancing emosi sang gadis dengan ejekan-ejekan kecilnya.
Sementara itu, ketiga pemuda lain yang ada di sana dengan kompak menyipitkan mata mereka untuk memperjelas letak 'mata naga' yang gadis itu maksud.
"Bagian mananya yang mirip sama mata naga?" gumam seorang pemuda sembari menjauhkan permen batang dari mulutnya dengan bunyi letupan kecil.
Menurut Alexandra Digo Erlangga, gambar itu lebih mirip burung yang terbang daripada sebuah mata naga. Atau mungkin memang imajinasinya saja yang tidak bisa menjangkau kekreatifan imajinasi Feira.
"Mau buat apa?" Suara lain terdengar.
Mengalihkan pandangannya ke arah pemilik suara, Feita tersenyum lebar. "Buat logo geng!" serunya dengan mata berbinar.
Joko Wira Dharma, nama pemuda berkacamata yang kini semakin bingung dengan jawaban yang dia dapatkan. Segera ia alihkan pandangan menatap satu-satunya pemuda yang sedari tadi hanya diam dan sibuk memperhatikan saja.
"Geng apaan?" tanyanya.
Sembari bertopang dagu, pemuda itu mematikan putung rokoknya yang sudah mengecil di asbak, pandangannya sedari tadi tak pernah teralihkan dari gambaran sang gadis.
Gabriel Argantara, pemuda berkulit tan dengan rambut hitam pekatnya yang selalu tampak berantakan. "Kenapa harus mata naga?" Alih-alih menjawab pertanyaan Joko, ia malah lebih fokus dengan gambar yang belum sempurnya, menurutnya begitu.
Joko mendatarkan wajahnya karena merasa pertanyaannya tak dipedulikan Gabriel, hal itu membuat Samudra dan Digo menahan tawa mereka.
"Karena bang Gabriel mirip naga. Ganas," ucap Feira sembari mengangkat kedua tangannya lalu bertingkah seolah dia adalah hewan yang siap menerkam mangsanya.
"Karena kau mirip naga," ucapan singkat itu terlintas begitu saja dalam ingatan Gabriel.
"Memangnya kenapa jika aku mirip naga? Aku tidak pernah berpikir untuk membuat geng, mereka saja yang tiba-tiba mengikutiku. Lagi pula itu ide orang lain, dan sekarang orangnya sudah tidak ada." Gabriel kembali mengapit putung rokok di mulutnya lalu membakar ujung nya.
Entah kenapa semuanya seakan langsung diam. Secara tidak langsung Gabriel menolak gagasan untuk membuat sebuah geng, kan?
Digo dan Joko yang sedari awal tak tahu apa-apa memilih untuk tetap diam. Sedangkan Samudra menendang kaki Gabriel pelan dari bawah meja, menurutnya ucapan pemuda itu keterlaluan.
"Memangnya kenapa?" sahut Feira sambil sedikit menggebrak meja.
"Emangnya yang bisa punya ide kayak gitu cuma satu orang aja? Ayo kita buat geng bersama," lanjut gadis kecil itu sembari menatap Gabriel dengan sorot mata yakin.
Helaan nafas pelan terdengar. Kala mulutnya ingin berucap tapi harus terhenti karena di potong oleh pemuda lain.
"Kayaknya seru, aku ikut ya?" potong Samudra dengan senyum lebar.
"Ikut kemana?" Tanpa di sadari oleh yang lainnya, dua bocah laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Feira, dimana salah satunya tampak memiliki wajah yang mirip dengan sang gadis sudah berdiri di dekat mereka.
Bimantara Hakim Sagara dan Feitan Dananjaya, sosok kakak kembar dari Feira. Keduanya nampak menikmati es krim yang baru saja mereka beli.
Dengusan pelan terdengar dari Digo saat seringai tipis terpatri di wajahnya. "Bang Gabriel mau buat geng."
Sontak saja pemuda itu mendapat lirikan tajam dari sang pemilik nama. Padahal dia belum menyatakan setuju, bagaimana bisa pemuda yang berbeda 3 tahun dengannya itu mengumumkan seperti itu.
Terlihat mata Feitan dan Sagara sedikit berbinar antusias. "Kami juga mau ikut!" jawab keduanya serempak.
"Emang kalian bisa tawuran?" Samudra tersenyum mengejek dengan nada yang meremehkan.
"Paling juga kena satu pukulan langsung tepar," imbuh Joko sambil tertawa pelan, ikut memprovokasi dengan kata-kata ejekannya.
Benar saja, kedua bocah laki-laki itu serempak menatap tajam kepada Samudra dan Joko. "Kata siapa?! Kami gak lemah ya!" sergah Sagara yang di angguki Feitan.
"Aku juga bisa tawuran kok, jadi aku juga ikut!" Feira mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi, seakan ingin menarik perhatian para pemuda itu.
"Pernah mukul orang?" tanya Samudra.
Gadis itu menggeleng. "Belum. Tapi nanti kalau ada yang macam-macam aku bisa jambak rambutnya sampai rontok." Ucapan polos sang gadis mengundang gelak tawa semua orang yang ada di sana.
Gabriel yang menyaksikan betapa antusiasnya ketiga bocah itu hanya mendengus pelan, tapi tak urung sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis.
Pesan yang belum dibaca :
Kisah kita dimulai disini. Kita melangkah bersama-sama, maka juga harus pulang bersama-sama.Senin, 21 Oktober 2024
20.51

KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Tanpa Nama
Novela Juvenil"Nanti, akan ada saatnya semua cuma jadi kenangan. Dan bersama kalian, itu kenangan paling indah yang ku punya." Dibawah langit yang sama, tujuh remaja, tujuh kehidupan yang berbeda, juga tujuh takdir tak terduga yang berakhir menyatukan kisah merek...