Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin bersamaan dengan satu per satu tetes air hujan yang mulai turun membasahi permukaan. Suara hewan malam saling bersahutan, seirama dengan tetesan hujan yang kian lebat.
Seorang laki-laki melangkahkan kakinya memasuki sebuah rumah mewah nan megah, tak peduli pada satu dua tetes air yang membasahi tubuhnya.
"Mahen pulang," ucapnya sambil melangkah memasuki rumah.
Mahen menghela nafas pelan saat tak seorangpun menyahutinya. Matanya mengedar, memandangi setiap sudut rumahnya yang tak pernah terasa seperti tempat pulang baginya. Apa yang ia harapkan dari rasa sepi yang telah menemaninya selama ini. Sekali pun Mahen tak akan pernah mendapat sambutan hangat saat kembali kerumahnya. Keluarga cemara yang diceritakan oleh orang-orang itu hanyalah dongen bagi kehidupan Mahen yang begitu sepi.
Mahen melanjutkan langkahnya menaiki satu per satu anak tangga yang terhubung ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Sesampainya di kamar, Mahen merebahkan tubuhnya sebentar. Beberapa menit kemudian ia kembali bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan dirinya.
Setelah selesai mandi, Mahen menggunakan celana pendek kemudian ia duduk di pinggir tempat tidurnya. Kebiasaan Mahen apabila berada di rumahnya sendirian, ia hanya mengenakan celana pendek dan tidak memakai baju. Toh dia juga sendirian di rumah sebesar ini.
Mahen meraih ponselnya yang terletak di atas nakas di samping tempat tidurnya. Mahen melihat sebuah pesan masuk dari Mamanya. Ia membuka aplikasi berwarna hijau tersebut lantas membaca pesan yang dikirim Mamanya.
Mahen tersenyum kecut, "kerja terus anaknya ga diurus," gumamnya.
Sejak kecil Mahen terbiasa dengan orangtuanya yang selalu sibuk bekerja. Bolak-balik ke luar negeri untuk urusan bisnis. Hal itu membuat Mahen jarang mendapat perhatian dari orangtuanya. Memang semua kebutuhan Mahen terpenuhi, ia difasilitasi lengkap. Kemauannya untuk menjadi seorang pelukis profesional juga didukung penuh oleh kedua orangtuanya. Hanya saja, Mahen terkadang juga ingin merasakan perhatian langsung dari mereka. Mahen ingin duduk bersama di meja makan saat makan malam, bercerita dan menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya. Namun, sepertinya itu hanya akan menjadi angan-angan Mahen untuk selamanya, karena kedua orangtuanya tak pernah punya waktu untuknya.
Mahen berniat mematikan kembali ponselnya, namun urung ia lakukan saat notif pesan masuk dari nomor tak dikenal. Mahen mengerutkan alisnya bingung. Ia tak pernah menyebar nomornya ke sembarang orang. Hanya orang-orang terdekatnya yang memiliki nomornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art Del Amor
Roman pour AdolescentsAira Senjana Gempitala, gadis berusia tujuh belas tahun yang begitu periang dan selalu ceria, gadis yang kerap disapa Aira itu mendadak mengikuti sebuah kursus melukis setelah sebuah pameran lukisan diadakan di sekolahnya. Bukan karena Aira suka mel...