Hujan deras terus mengguyur sejak pagi buta. Udara dingin menyelimuti, membuat suasana rumah jadi gelap meskipun semua lampu dinyalakan.
"Mending kamu nggak usah sekolah dulu, deh. Males kakak bawa motor hujan-hujan begini," ujar diriku, dengan nada suara malas. "Luar gelap, lagi."
Tapi Nadia, adikku, sama sekali tidak terpengaruh. "Aku mau sekolah, Kak! Mauuu!"
Dia terus saja merengek, menarik-narik celanaku sambil mengomel. Biasanya dia jarang begini, apalagi sampai tantrum hanya karena masalah sekolah. Ada apa sebenarnya di sekolah sampai dia begini keras kepala?
"Apaan sih ini anak? Udah, izin aja biar nggak perlu berangkat," jawabku sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangannya dari celanaku. "Gila, hujan gede gini masih ngotot mau sekolah."
"Aku mau sekolah! Aku mau sekolah!" Suaranya semakin tinggi, memekakkan telingaku.
Tapi, begitu terdengar suara kakak pertama kami dari ruangan lain, Nadia langsung membisu. Kakak pertama memang selalu berhasil membuat Nadia bungkam hanya dengan satu kalimat. Tapi kenapa dia tidak pernah takut padaku?
"Lepasin celana, ih!" omelku sambil melonggarkan ikatan celanaku yang hampir copot gara-gara ulah Nadia.
Nadia langsung berdiri seperti patung dengan kepala tertunduk saat kakak pertama mendekat. Aku memanfaatkan momen itu untuk kabur ke kamarku, menyiapkan barang-barangku karena jam setengah delapan nanti aku harus berangkat bekerja. Suara ocehan kakak masih terdengar jelas sampai ke kamarku.
"Kenapa sih punya adik susah banget dibilangin?"
Aku mulai memasukkan barang-barang ke dalam tas, termasuk benda aneh yang baru kubeli kemarin dari Toko As. Bentuknya mirip senjata api, tapi aku tidak yakin benda ini benar-benar untuk menembak. Toko itu memang terkenal menjual barang-barang yang tampak biasa, tapi memiliki fungsi misterius.
Sebuah notifikasi muncul di ponselku.
Susan: "Hari ini nggak perlu bawa kendaraan. Kita kumpul di lokasi yang dikirim ketua."
Aku: "Okay, thanks."
Nice, aku punya waktu dua jam sebelum berangkat. Lebih baik aku tiduran dulu.
Di luar, aku masih bisa mendengar tangisan Nadia. Sepertinya dia sedang merengek pada kakak pertama. Aku tersenyum kecil, teringat masa-masa ketika aku yang berada di posisi Nadia, sering dimarahi karena berbagai hal. Kakak selalu berbicara dengan kalimat yang langsung menusuk ulu hati. Mama biasanya akan menambah ceramah panjang, sementara Papa? Dia malah tertawa melihatku.
"Jadi kangen Mama Papa..." gumamku sambil menatap langit-langit kamar. Sudah tujuh tahun mereka tidak pulang, tanpa kabar. Sebenarnya, apa pekerjaan orang tua kami?
Suara hujan yang deras membuat mataku semakin berat. Rasanya damai, dan pelan-pelan aku mulai mengantuk lagi. Ketukan pelan di pintu kamarku menyadarkanku.
"Ellen, ayo sarapan dulu," suara kakak pertama terdengar dari balik pintu.
"Nggak, Kak. Kalau sarapan sekarang, nanti di perjalanan aku lapar lagi," jawabku malas.
Kakak hanya mendesah pelan lalu pergi, tanpa menutup pintu kamarku. Dia benar-benar sabar menghadapi kelakuan adik-adiknya. Aku, di sisi lain, rasanya sudah tidak punya stok kesabaran yang tersisa.
Aku menarik selimut lagi dan mencari posisi paling nyaman di atas kasur. Suara hujan yang menenangkan membuatku cepat kembali terlelap.
---
Di ruangan lain, Nadia masih berdiri di hadapan kakak pertama. Wajahnya merah, matanya berkaca-kaca, tapi dia tidak berani mengangkat kepala. Jari-jarinya terus dikulum, tanda dia sangat gugup dan takut. Kakak pertama hanya menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kenapa diem aja?" suara kakak pertama memecah keheningan. "Kamu ngotot mau sekolah, kan? Kalau gitu, coba berangkat sendiri, jalan kaki aja. Kakak nggak mau Kak Ellen sakit cuma gara-gara nganterin kamu yang keras kepala."
Nadia semakin menunduk, air mata mulai menetes di pipinya. "Kakak selalu belain Kak Ellen..." suaranya bergetar.
Tangisnya akhirnya pecah. Dia mengusap matanya dengan kasar menggunakan lengan seragamnya. Kakak pertama berjongkok di depannya, menatap Nadia sejajar, lalu mengusap air mata yang tersisa dengan ibu jarinya.
"Nadia, denger ya," kata kakak lembut tapi tegas. "Kalau kamu mau sesuatu, nggak usah merengek. Kak Ellen khawatir sama kamu, makanya kakak bilangin. Tapi kamu marah cuma karena kakak belain Kak Ellen yang khawatir? Jangan jadi orang yang egois, ya."
Nadia masih belum sepenuhnya mengerti, tapi dia mengangguk perlahan, menahan isak.
Kakak tersenyum tipis, mengusap kepala Nadia. "Bagus. Sekarang kamu duduk, biar kakak ambilin minum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission to Destroy
AdventureApa jadinya jika hanya aku yang tersisa? Jika hanya aku yang hidup sementara semua yang lain hancur? Mampukah aku bertahan di tengah bayang-bayang kehancuran ini? Atau justru semakin tenggelam dalam kekacauan yang tak terelakkan? Aku tahu. Dari awal...