Sahara termenung di atas ranjangnya sambil menatap ke atas, ke langit-langit kamarnya.
Wajahnya yang sembab dan juga matanya yang bengkak menjelaskan semuanya. Setelah terbangun dari pingsannya, Sahara sibuk berdiam saja sampai waktu sudah menjadi dini hari. Entah apa yang ia pikirkan, ia terlihat sangat berantakan— baik dari segi suasana hati, mental maupun penampilannya sendiri.
Setelah entah beberapa lama, gadis itu kemudian tergerak untuk bangun dari posisi tidurnya sebab rasa haus melanda tenggorokannya yang terasa kering. Ini mungkin karena ia menangis cukup lama.
Tapi sebelum ke luar dari kamarnya, Sahara memutuskan masuk ke dalam kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan tubuhnya.
Ketika ia memandang pantulannya sendiri, ia meringis pelan, mendapati bahwa wajahnya terlihat sembab dan matanya lebih bengkak dan besar dari biasanya. Bahkan terasa sulit hanya untuk melihat dengan jelas.
Sahara kemudian lagi-lagi menghembuskan napas beratnya, ia memutuskan untuk mandi air hangat agar merilekskan tubuhnya walaupun ia tahu hal itu akan berakibat buruk untuk tubuhnya.
Gadis itupun melenguh kecil merasakan sensasi hangat dan meresapi setiap kali kulit berwarna kuning langsat nya bersentuhan dengan air. Ia kemudian mendongakkan kepalanya di sandaran bak mandi sambil memejamkan matanya.
Selang kurang-lebih 30 menit, Sahara bangkit dan mengenakan kembali pakaiannya tadi. Mungkin tadi Septian menyuruh mbak Nia menggantikan hoodie basahnya dengan pakaian rumahan yang sering ia kenakan.
Lalu, setelah menguncir rambutnya, ia berjalan pelan keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga.
Rumah gelap gulita tak membuatnya berbalik atupun parno seperti biasanya. Sahara sepertinya sudah tak ambil pusing lagi jika ketakutannya akan gelap kembali datang, ia kemudian berbelok ke arah kanan untuk menuju dapur.
Namun Sahara mengernyit ketika melihat lampu yang menerangi ruang makan masih menyala terang seolah ada orang lain yang masih terjaga sama seperti dirinya. Ia kemudian kembali berjalan menuju dapur dan tak menghiraukan kenapa dini hari ruang makan masih menyala.
"Uhuk..uhukk."
Mendengar itu, Sahara seketika menoleh dan berhenti. Ternyata benar dugaannya ada orang lain selain dirinya yang masih terjaga.
Sahara kemudian melewati sekat ruangan antara dapur dan ruang makan. Di sana ia dapat melihat ayah sedang duduk di salah satu kursi di meja makan dan sedang menelungkupkan kepalanya di meja tersebut.
Sebenarnya Sahara ingin kembali dengan urusan awalnya yang ingin minum, tapi melihat ayah yang rapuh tak seperti biasanya membuatnya tertegun dan memutuskan untuk duduk di hadapan ayah setelah mengambil minuman kemasan dalam kulkas.
"Kenapa?" Tanyanya membuat ayah mendongakkan kepalanya dan terkejut melihat Sahara duduk di depannya.
Sedangkan Sahara mengangkat sebelah alisnya heran ketika mendapati ayah menangis, terlihat ada bekas air mata dipipi ayah yang membuatnya berspekulasi begitu.
"Kenapa kamu ke sini?" Bukannya menjawab ayah malah melontarkan pertanyaannya kepada Sahara yang memilih diam, ikut tak menjawab.
Kedua sama-sama diam seolah mengijinkan atmosfir canggung melanda diantara anak dan ayah itu.
Tatapan kosong Sahara layangkan pada ayah yang kini diam menunduk menatap meja kaca tersebut.
Tak ada yang bersuara dan hanya detik-detik jam yang meramaikan ditambah dengan suara hujan yang masih saja awet terdengar keras bergema dalam ruangan.
Hawa dingin menyeruak masuk dalam ruangan tersebut lewat fentilasi yang ada di dapur ketika angin berembus kencang tanpa adanya aba-aba dan membuat bulu kuduk berdiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
NEED - End (PROSES REVISI+ROMBAK ALUR)
ChickLitPROSES REVISI! ROMBAK ALUR PASTI ADA! BACA ULANG DAN VOTE UNTUK MENGHARGAI USAHA PENULIS. "Bunda... apa Hara harus sakit dulu supaya bisa diperhatikan sama kalian kayak gini?" Sahara tumbuh di tengah keluarga yang utuh di mata orang lain, tapi rapuh...