chapter 2

7 1 0
                                    

Orang yang gue maksud itu adalah Revan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Orang yang gue maksud itu adalah Revan. Revan selalu jadi pusat perhatian. Nggak peduli di mana dia berada, orang-orang otomatis melirik ke arahnya. Bukan cuma karena dia punya wajah yang tegas dan menarik, tapi juga karena cara dia membawa diri. Ada sesuatu dari dia yang bikin lo pengen memperhatikan—sesuatu yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata, semacam aura yang bikin lo tau kalau Revan itu berbeda.

Setiap kali dia jalan ke ruangan, lo bisa ngerasain kehadirannya. Dia nggak butuh ngomong banyak buat bikin orang-orang di sekitarnya nunduk. Cukup dengan tatapan tajamnya yang kayak ngasih sinyal ke lo bahwa dia ngerti lebih dari yang dia tunjukkan. Itulah Revan. Dominan, berwibawa, dan punya kendali atas segala situasi yang dia hadapi.

Tapi, di balik itu semua, ada sisi yang orang-orang nggak pernah tau. Sisi yang mungkin cuma beberapa orang aja yang pernah liat, dan gue adalah salah satunya. Revan mungkin keliatan kuat, nggak tersentuh, tapi dia juga punya kerentanan yang jarang banget dia tunjukkin ke dunia luar.

Awal pertemuan gue sama Revan sebenarnya nggak ada yang istimewa. Kita kenal di salah satu acara kampus, saat semuanya lagi sibuk dengan tugas masing-masing. Gue inget, waktu itu gue cuma jadi panitia kecil, ngurusin hal-hal teknis di belakang layar, sementara Revan? Dia ketua panitianya. Punya peran besar, penuh tanggung jawab, dan jelas semua orang ngeliat dia sebagai pemimpin.

Gue awalnya nggak terlalu ngeh sama dia. Buat gue, Revan adalah sosok yang jauh di atas, yang kayaknya nggak mungkin nyadar sama keberadaan gue. Tapi semuanya berubah ketika malam, gue lagi beresin kursi-kursi setelah acara selesai, dan tiba-tiba Revan dateng ke arah gue. Dia keliatan capek, wajahnya serius, tapi dia tetap memberi gue senyum kecil—senyum yang bikin lo ngerasa dihargai meski lo cuma orang yang nyusun kursi.

Thank you, ya, udah bantuin hari ini,” katanya sambil ngeliat gue dengan tatapan yang bikin gue sedikit kaku.

Gue cuma bisa jawab seadanya, “Nggak masalah, gue senang kok bisa bantu.”

Itu pertama kalinya gue ngobrol langsung sama dia. Dan jujur, gue nggak nyangka kalau orang seperti dia, yang selalu sibuk ngatur ini-itu, bisa punya waktu buat ngomong sama gue, apalagi dengan nada yang cukup lembut. Dari situ, gue mulai sadar kalau Revan nggak cuma sekedar ketua yang disiplin. Dia juga perhatian sama orang-orang di sekitarnya, meskipun kadang dia nggak selalu memperlihatkan itu.

Setelah beberapa kali ketemu lagi di acara lain, gue makin sering nelihat sisi Revan yang lain. Dia bisa sangat serius saat kerja, tapi di saat yang sama, ada momen-momen di mana dia keliatan capek. Wajahnya tegang, bahunya terlihat sedikit menurun, dan mata tajamnya kayak nyimpen beban yang nggak pernah dia bicarain.

Suatu malam, gue nggak sengaja liat Revan lagi duduk sendirian di salah satu sudut gedung kampus. Tangannya nahan kepalanya, dan napasnya berat. Gue ragu buat nyamperin, tapi hati gue bilang kalau dia butuh seseorang. Jadi, tanpa pikir panjang, gue duduk di sebelahnya.

Dia nggak langsung ngomong. Selama beberapa menit, kita cuma duduk dalam diam, sampe akhirnya dia buka suara dengan suara yang lebih pelan dari biasanya.

“Terkadang… rasanya capek banget, tahu nggak?” katanya sambil masih melihat ke depan. “Orang-orang ngeliat gue kayak gue tahu segalanya, kayak gue nggak pernah bikin salah. Tapi sebenarnya… gue juga ngerasa bingung. Gue nggak selalu tahu apa yang gue lakukan. Gue cuma nggak mau ngecewain mereka.”

Itu pertama kalinya gue liat sisi lain dari Revan. Sisi yang nggak pernah dia tunjukkin di depan orang lain. Dia selalu kuat, selalu jadi pemimpin yang nggak tergoyahkan. Tapi di saat itu, gue liat dia sebagai seseorang yang sama kayak gue—manusia biasa yang kadang ngerasa ragu dan lelah.

Gue tahu Revan nggak butuh jawaban. Dia cuma butuh seseorang buat dengerin, seseorang yang ngerti kalau dia nggak sempurna dan itu nggak apa-apa. Jadi, gue cuma ada di sana, dengerin dia ngomong tanpa banyak komentar. Mungkin, itulah yang bikin hubungan kita jadi lebih dekat. Karena Revan tahu, gue nggak akan ngejudge dia. Gue nggak akan nuntut dia buat terus jadi sosok yang sempurna di depan gue.

Sejak saat itu, ada semacam koneksi yang terbangun antara gue dan Revan. Kita jadi sering ngobrol, dan gue mulai ngerti kalau di balik karisma dan dominasinya, Revan adalah orang yang rapuh. Dia nyimpen banyak hal di dalam, nggak pernah bener-bener ngebiarin orang lain tau seberapa berat beban yang dia bawa.

Tapi gue bisa liat itu. Gue bisa ngerasain. Meskipun Revan jarang cerita langsung, dari caranya ngomong, dari ekspresi wajahnya yang kadang nggak bisa dia sembunyiin, gue tahu kalau dia nggak sekuat yang dia tunjukkan. Dan anehnya, itu justru bikin gue makin pengen ada buat dia.

Revan adalah orang yang punya sisi dominan, tapi dia juga manusia biasa yang pengen dimengerti. Dan gue, dengan segala keterbatasan gue, cuma pengen jadi orang yang bisa ada buat dia, di saat dia butuh. Mungkin itu alasan kenapa gue nggak pernah ninggalin dia—karena gue tahu, di balik semua kekuatannya, ada sisi rentan yang cuma bisa dia tunjukkin ke orang yang bener-bener dia percaya.

Dan dari situlah semuanya dimulai.

Dan dari situlah semuanya dimulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****TBC*****

Jangan lupa Vote dan Komen ya

LANGIT ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang