Prolog

403 30 0
                                    

Tidak semua nasib baik berpihak pada anak bungsu. Cerita yang beredar hanya tentang bagaimana mereka sang anak pertama harus menjadi contoh untuk adik-adiknya. Tetapi kalau anak pertama gagal? Harapan terakhir orang tua tentunya si anak bungsu.

Jika dalam cerita orang lain, anak bungsu akan selalu bernasib baik, berbeda dengan cerita hidup Saraswati yang menanggung semua ketidakadilan dalam hidupnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika dalam cerita orang lain, anak bungsu akan selalu bernasib baik, berbeda dengan cerita hidup Saraswati yang menanggung semua ketidakadilan dalam hidupnya.

Bukan orang tuanya mendidiknya dengan buruk, namun nasib yang menginginkan Saraswati untuk jadi wanita yang lebih kuat. Bahkan lebih kuat dari Abangnya, yang sejak dulu dihujani pujian oleh kedua orang tua mereka karena prestasinya.

Saraswati Aurelia adalah seorang pegawai swasta yang mengabdikan diri selama satu tahun dalam sebuah kantor yang berlokasi di kawasan scbd Jakarta sebagai seorang accounting dengan gaji yang tidak sampai dua digit.

Bekerja dikawasan scbd yang menurut sebagian orang adalah kawasan elit, akan tetapi Saras tidak merasakan ke-elitan itu karena gaji yang ia dapat sudah pasti habis untuk kebutuhan keluarganya.

Lahir dalam keluarga sederhana, Saras mencoba merubah nasibnya dengan mengambil beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang Sarjana.

Semenjak masih kuliah, Saras sudah mengambil pekerjaan part time menjadi seorang waiters di sebuah resto.

Nani seorang Ibu yang selalu mengerti anaknya, ia memang tidak pernah membandingkan Saras dengan Abangnya, namun setiap kalimat pujian yang dilontarkan Nani untuk Abangnya, membuat hatinya teriris, karena Saras tidak pernah mendapatkan itu.

"Abang, pinter banget. Alhamdulillah ya, kamu juara 1 dikelas, abang semangat belajarnya ya. Banggain Ibu sama Ayah, kamu anak laki-laki yang bisa Ibu andalkan." Kurang lebih itu kalimat yang didengar oleh Saras setiap lulus semester sekolah.

Bonar, Ayah dari Saras bekerja sebagai office boy disebuah mall yang mana penghasilannya tak seberapa. Bahkan Bonar sudah pensiun saat akhir semester yang Saras tempuh dalam masa perkuliahannya. Bisa dibayangkan seberapa kerja kerasnya Saras mencari tambahan uang untuk biaya sehari-hari bersama orang tuanya saat sang ayah pensiun.

Hidup di Jakarta, siapapun dituntut untuk kuat dalam hal mental dan fisik. Persaingan kerja sangat ketat disana, belum lagi biaya hidup yang nampaknya agak kurang wajar jika dibandingkan dengan biaya hidup di Jawa.

Sandi Ardian adalah Abang Saras yang kini sudah berumah tangga dan memiliki satu orang anak laki-laki bernama Bara.

Sandi bekerja sebagai office boy, menggantikan ayahnya yang sudah pensiun. Sebenarnya alasan lain adalah, ia dipecat dari kantor sebelumnya karena terjadi perkelahian antara Sandi dan Bos nya, yang mana Sandi hampir membuat Bos nya mati dengan pukulan bertubi-tubi karena penambahan jobdesk setiap minggunya yang membuat kepalanya pening. Atasan memang bisanya menyuruh, tanpa tau apa yang dialami anak buahnya dilapangan.

Menjadi office boy di usianya yang sudah memasuki kepala 3 rasanya gaji yang didapatkan Sandi hanya cukup untuk memenuhi biaya makan anak istrinya dan juga pendidikan untuk Bara, anaknya.

Bara berusia 5 tahun yang mana kini sudah menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak. Walaupun hanya TK juga perlu biaya untuk sekolah Bara, apalagi Winda, istri Sandi hanya seorang Ibu rumah tangga.

Sandi dan keluarga kecilnya sudah tinggal sendiri, walau mereka hanya tinggal di kos-kosan kecil.

Sandi sebelumnya adalah seorang supervisor di sebuah perusahaan yang ada di Jakarta, namun karirnya harus kandas karena kelalaiannya menjaga emosi.

Berbeda dengan Saras yang harus mencari beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang Sarjana, Sandi justru mendapatkan biaya full dari orangtuanya. Saat itu masih masa jaya orang tuanya, kebetulan sang ayah yang masih aktif bekerja menyisihkan sebagian uang untuk ditabung dan saat Sandi lulus SMA, anak pertamanya itu berhasil ia berikan pendidikan Sarjana tanpa susah payah mencari beasiswa dengan harus mempertahankan nilai Indeks Prestasi Kumulatif agar bisa bertahan sampai lulus.

Kehidupan Saraswati sebagai anak bungsu tak seberuntung anak bungsu lain yang mungkin hidup berkecukupan, bisa manja dengan orang tua dan semua privilege lain dalam hidup mereka.

Usai tamat Kuliah, Saras masih melanjutkan pekerjaannya menjadi waiters, namun ia sudah mulai mencari pekerjaan lain yang bisa dijadikan pekerjaan tetap.

Setelah menunggu sekitar lima bulan, Saras mendapatkan posisinya yang sekarang. Menjadi seorang accounting diperusahaan yang masih berkembang menjadikannya lebih sering mengambil napas panjang, alias semuanya masih serba dikerjakan sendiri. Segala teknologi canggih yang dibutuhkan baru ia juga yang berinisiatif untuk mengajukan ke tim terkaitnya.

"Tidak ada kata mengeluh Saras! Kamu masih butuh uang." Kira-kira itu kalimat yang Saras keluarkan dipagi hari ketika ia sudah rapi dan siap untuk berangkat ke kantor menaiki MRT, bertarung dengan pejuang rupiah lainnya.

Dengan pakaian formal, celana panjang, kemeja reguler size, serta jilbab yang diikat kebelakang dengan rapi membuat Saras terlihat memukau. Jangan lupa, lanyard yang setiap hari ia gantungkan di lehernya tidak boleh tertinggal.

***

Thank You !

Side of SaraswatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang