00.05 Bingung

76 24 19
                                    


Happy reading, guise~

.
.
.
.






"Win.."

Winter menoleh ke arah Karina yang sudah membawa 2 botol air mineral yang sudah diambil dari lemari es di cafe milik Karina. Mereka lalu duduk berhadapan. Karina sudah mengabari karyawannya untuk datang sekitar jam 9 karena Karina takut keadaan yang terjadi tadi pasti akan berlanjut. Apalagi, Winter sampai bertemu dengan sosok pelaku itu.

Lamunan Winter masih belum berhenti setelah menoleh sebagai respon kepada Karina tadi. Pandangan nya penuh kebingungan dan tidak tau lagi ingin mengatakan apa menyikapi apa yang terjadi hari ini.

"Maaf ya. Karena aku, kamu jadi shock gini."

Winter menggeleng. "Engga papa."

Karina meminum air mineral nya hingga tersisa tiga per empat nya. "Tadi kamu di pukul? Sempet berantem?"

"Engga kok. Dia jatuh, terus lari."

"Syukur deh.."

Hening lagi. Winter tidak tau bagaimana caranya ia menanyakan sesuatu kepada Karina. Ia menatap wajah Karina sekali lagi dan tetap teringat dengan perempuan yang tadi memakai kalung yang seharusnya milik 'pacar' Winter.

"Kalau boleh tau... Tadi siapa?"

Karina tidak terkejut saat Winter menanyakan hal itu. Sudah pasti dia akan bertanya, itu normal.

"Dia, orang yang seharusnya baik, tapi keadaan ngga mendukung." Jawab Karina yang membuat Winter mengerutkan kening.

"Maksudnya?"

"Dia kakak ku."

"Hah? Anjir? Pantes mirip!"

Karina terkekeh. "Mirip ya? Iya. Dia kembaranku. Tapi, dia lahir duluan, jadi dia kakak ku. Kita... Beda 5 menit sebenernya."

"Ril pin Ipin.." gumam Winter.

"Dia harusnya bisa jadi sosok kakak yang baik buatku. Tapi ternyata engga." Lanjut Karina tanpa memperdulikan gumam an dari Winter.

"Dia kebawa pengaruh buruk? Atau kalian rebutan warisan?" Tanya Winter.

Karina menggeleng. "Ngga kayak gitu. Orang tua kita pengen 1 anak aja. Jadi pas kita berdua lahir, entah gimana mereka membuat keputusan, kakak ku di kasih ke orang."

"Sebenernya udah berjalan normal menurut orang tua ku selama 10 tahun. Konflik mulai ada pas kakak ku itu datengin aku di taman dan bilang kalau kita kembar dan harus jadi teman. Kukira dia serius ngajakin temen an, ternyata, ya ngga tau ya... gimana bisa anak se-kecil itu bisa bertingkah layaknya orang dewasa yang nyimpen dendam."

Winter mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Karina. Ia melihat Karina yang sudah menghela nafas berkali-kali, menjadi tahu bahwa mungkin yang dilakukan perempuan tadi, alias kakak nya itu, tidak main-main.

"Selama ini apa yang dia lakuin?" Tanya Winter.

"Banyak. Selama 14 tahun, dia kayak terobsesi sama aku dan mau ngehancurin semua yang berhubungan dengan aku. Padahal ya, semisal dia mau gantiin posisi aku di keluarga, ya aku ngga masalah. Aku bisa berdiri di kaki aku sendiri, jalan di alur yang ku buat sendiri, aku bisa dan aku mau. Tapi, dia punya pikiran lain yang aku sendiri ngga tahu."

"Luka semalem...,"

"Iya." Potong Karina. "Itu gara-gara dia."

Winter mengangguk paham. "Kenapa ngga dilaporin aja ke polisi?"

"Ngga bisa Win. Apa-apa pun, dia kakak ku. Masih tetep kakak ku. Sebetulnya aku udah pernah ngelapor, dan itu percuma. Dia ga pernah bisa di tangkep sama polisi. Sekali ketangkep, dia playing victim. Ada aja yang bisa buat dia lepas. Jadi ya di samping dia kakak ku, ngelaporin dia itu sia-sia."

ONLINE or OFFLINE? : WINRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang