Prolog - Kehidupan Baru

21 6 5
                                    

Hujan gerimis menitik lembut di atas tanah desa yang kering, menciptakan genangan air kecil yang memantulkan bayangan kelam dari rumah-rumah kayu tua. Liora Schwarz, seorang gadis berusia lima belas tahun, berdiri di depan jendela rumahnya yang berembun, memperhatikan keramaian di luar. Suara tawa anak-anak seusianya mengisi udara, tetapi di dalam hatinya, ada sebuah kekosongan yang tak terisi. Di balik senyum ceria mereka, Liora merasakan sebuah dinding tak terlihat yang memisahkannya dari dunia luar.

Keluarganya, yang terkenal sebagai pengguna sihir di desanya, telah lama menjadi pilar kekuatan. Namun, di balik reputasi megah itu, Liora merasa terjebak dalam bayang-bayang harapan yang tidak pernah bisa ia penuhi. Sihir mengalir deras dalam darah keluarganya, tetapi ia, yang selalu merasa paling lemah, hanya dapat menyaksikan kakak-kakaknya berlatih dengan kemahiran yang luar biasa. Setiap kali mereka berhasil melakukan mantra yang sulit, Liora hanya bisa mengagumi dari kejauhan, sambil merasakan kepedihan yang semakin dalam.

Hari-hari berlalu, dan Liora mulai merasakan getaran ketidakpuasan yang mendalam. Ia sering disisihkan oleh keluarganya, tidak diakui dalam setiap ritual yang melibatkan sihir, dan dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya. "Liora si lemah," panggilan itu terus menggema di telinganya, bagai teriakan yang tidak pernah berhenti. Kecemburuan dan rasa sakit menyelimuti jiwanya, menambah beban yang semakin tak tertahankan.

Suatu malam, ketika badai mengamuk di luar, Liora terbangun dari tidurnya. Dia mendengar suara berbisik, seolah datang dari dunia lain. Mengintip dari celah pintu, dia melihat orangtuanya berkumpul di ruang tamu dengan wajah serius. Mereka membahas tentang ramalan yang menimpa keluarga mereka, tentang betapa pentingnya menguasai sihir dengan lebih kuat, dan tentang dampak buruk dari ketidakberdayaan yang dia alami. Mungkin itu adalah alasan mengapa Liora merasa begitu terasing. Ia bukan hanya dianggap lemah, tetapi juga membawa kutukan yang dapat menghancurkan semua harapan keluarga mereka.

Malam itu, saat kilat menyambar dan guntur menggelegar, Liora merasa terpuruk. Bayang-bayang kekuatan yang seharusnya melindungi dan menguatkan justru menciptakan rasa takut dan kegelisahan di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa memenuhi harapan keluarganya, dan lebih buruk lagi, ia takut akan apa yang mungkin terjadi jika ia terus tinggal di desa itu. Dalam kesunyian malam, dia menginginkan kebebasan, sebuah tempat di mana ia bisa menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Ketika pagi tiba, Liora sudah memutuskan. Dengan tekad yang bulat, ia mengemas barang-barangnya dengan hati-hati, memasukkan buku-buku dan beberapa barang berharga yang dapat mengingatkan dirinya akan rumah. Dia meninggalkan surat untuk keluarganya, yang ditulis dengan tangan yang sedikit bergetar. "Aku pergi ke luar kota untuk sekolah," tulisnya, berharap agar kata-kata itu bisa menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik. Ia ingin mengejar pendidikan dan menemukan tempat di mana ia bisa meraih impian, jauh dari bayang-bayang kekuatan sihir yang mengekangnya.

Liora menatap sekeliling rumahnya untuk terakhir kalinya, merasakan rasa sakit yang menyelimuti jiwanya. Dia tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah, tetapi jauh dari rumah mungkin adalah satu-satunya cara untuk menemukan jati diri dan menghindari nasib yang mungkin menanti di bawah bayang-bayang kekuatan keluarganya. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Liora melangkah menuju kereta yang akan membawanya jauh dari masa lalunya.

Dalam perjalanan, setiap detik terasa penuh harapan dan ketakutan. Dia mengawasi pemandangan yang berubah di luar jendela kereta; desa yang dia tinggalkan semakin kecil, hilang dalam kabut yang menyelimuti pikiran dan hatinya. Meninggalkan semua yang dia kenal dan mencintai, Liora menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang melarikan diri, tetapi juga tentang mencari jati diri yang selama ini terpendam dalam kegelapan.

Dua tahun telah berlalu sejak Liora Schwarz meninggalkan desa yang penuh dengan sihir dan tekanan. Kini, di usianya yang ke-17, kehidupan di sekolah telah memberinya warna baru. Sekolahnya terletak di pinggiran kota, dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Setiap sudutnya memberikan kesan damai, jauh dari bayang-bayang masa lalunya. Dalam dua tahun ini, Liora berusaha untuk menjalani hidup yang lebih baik, mengabaikan beban yang selama ini mengikutinya.

Festival of AscencionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang