Liora dan Lukas menaiki kereta yang mulai dipenuhi oleh penumpang. Deretan bangku kayu terlihat penuh, sementara orang-orang sibuk mencari tempat duduk mereka. Suara roda kereta yang menggelinding di atas rel mulai terdengar, menambah riuh suasana stasiun yang sudah ramai. Di tengah keramaian itu, Liora merasa sedikit canggung, meski Lukas tetap tersenyum tenang di sampingnya.
"Sepertinya kita harus cepat-cepat mencari tempat duduk," kata Lukas sambil melihat sekeliling, matanya mencari bangku kosong di antara penumpang yang lalu lalang.
Liora mengangguk, mengikuti langkah Lukas di antara lorong sempit kereta. Mereka melangkah perlahan, melewati deretan bangku yang sudah terisi oleh berbagai macam penumpang: ada seorang ibu yang memangku bayinya, pedagang yang membawa barang dagangannya, serta beberapa anak muda yang tampak asyik mengobrol.
Setelah beberapa saat berjalan, Lukas menemukan dua bangku kosong di dekat jendela. "Bagaimana kalau di sini?" Lukas bertanya sambil menunjuk kursi itu.
Liora mengangguk setuju. "Terima kasih, Lukas." Mereka pun duduk, meletakkan tas di pangkuan dan merasakan sedikit ketenangan setelah berdesak-desakan di lorong. Liora menatap keluar jendela, memperhatikan pemandangan desa yang perlahan-lahan menjauh, berubah menjadi hamparan ladang dan pepohonan yang berlarian di balik kaca.
Setelah beberapa menit berlalu, keheningan di antara mereka terasa menggantung. Lukas, yang menyadari ekspresi muram Liora, mencoba memulai percakapan. “Jadi, kamu bilang kamu pergi dari rumah untuk sekolah. Apa yang membuatmu ingin kembali sekarang?”
Liora terdiam sejenak sebelum menghela napas panjang. "Ibuku... dia baru saja meninggal," jawabnya dengan suara yang terdengar patah. "Aku harus pulang untuk memberikan penghormatan terakhir. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku tidak bisa membiarkan kenangan terakhirku bersamanya pergi begitu saja."
Lukas mengangguk pelan, menatap Liora dengan empati. “Maaf, aku tidak tahu. Kehilangan seseorang yang penting pasti sangat berat.”
Liora tersenyum tipis, meski air mata tampak menggenang di sudut matanya. “Terima kasih, Lukas. Aku hanya berharap bisa memberikan kenangan yang lebih baik untuknya, bukan hanya kenangan tentang diriku yang lemah dan selalu gagal.”
Lukas menatap Liora dengan rasa penasaran. "Kenapa kamu merasa seperti itu? Maksudku, kamu terlihat kuat sekarang."
Liora tersenyum pahit, mengusap sudut matanya dengan jari. “Aku tidak pernah merasa kuat, terutama di depan keluargaku. Mereka semua pengguna sihir yang hebat, dan aku… aku bahkan tidak bisa menguasai sihir dasar. Aku selalu merasa seperti beban di antara mereka.”
Lukas mendengarkan dengan seksama, namun tiba-tiba raut wajahnya berubah, tampak terkejut. “Tunggu, tunggu... pengguna sihir? Maksudmu, sihir yang sesungguhnya?”
Liora menoleh, melihat ekspresi Lukas yang tampak kebingungan dan penuh keraguan. “Ya, sihir. Aku berasal dari keluarga pengguna sihir, Lukas.”
Lukas mengangkat alisnya tinggi, sedikit tertawa dengan gugup. “Kamu bercanda, kan? Maksudku... sihir itu cuma legenda atau cerita yang dikisahkan orang-orang tua untuk menakut-nakuti anak-anak. Bagaimana mungkin kamu—”
Liora menghela napas dan tersenyum tipis. Dia tahu reaksi seperti ini bukanlah hal yang baru baginya. “Tidak apa-apa kalau kamu tidak percaya, Lukas. Kebanyakan orang juga tidak percaya, dan aku tidak menyalahkanmu. Memang sulit membayangkan sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata.”
Lukas tampak masih terkejut, matanya memandang Liora dengan campuran rasa ingin tahu dan keraguan. “Tapi, kalau memang benar... kenapa kamu mau menceritakan ini padaku? Kamu baru saja bertemu denganku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Festival of Ascencion
Bí ẩn / Giật gânDalam perjalanan pulang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ibunya yang baru meninggal, Liora, seorang gadis muda dari keluarga pengguna sihir dan 13 orang lainnya terpilih menjadi kandidat dewa, mereka terjebak didalam sebuah tragedi yang...