Path of Pride : "A Path Without Helping Hands"
Setelah pencarian panjang yang tidak membuahkan hasil, seluruh kelompok kembali ke gerbong utama untuk beristirahat. Malam semakin larut, dan rasa lelah mulai terasa di tubuh mereka. Namun, suasana tegang karena hilangnya kalung Liora perlahan mulai mencair ketika mereka semua mencoba mengalihkan pikiran dari kejadian itu.
Mereka berkumpul di salah satu gerbong yang lebih luas, duduk melingkar di sekitar meja kecil. Lukas mengambil inisiatif untuk mencoba mencairkan suasana. Dengan senyum canggung di wajahnya, ia mengangkat cangkir teh hangat yang disiapkan Anneliese dan berkata, “Ayo, kita coba santai sejenak. Minum teh dan bercerita. Mungkin bisa bikin kita semua sedikit lebih tenang.”
Elena tertawa kecil mendengar usaha Lukas. “Kau ini memang selalu berusaha jadi yang paling ceria, ya, Lukas? Tapi kurasa kali ini usahamu lumayan berhasil,” katanya sambil mengambil cangkir tehnya sendiri.
Anneliese, yang duduk di sebelah Elena, ikut tersenyum. “Benar, kita semua butuh istirahat setelah semua kegaduhan tadi. Lagipula, kita tidak akan bisa berpikir jernih jika terlalu stres.”
Isabelle, yang biasanya suka bersikap sinis, kali ini terlihat lebih tenang meski jelas masih ada sedikit rasa kesal di wajahnya. “Iya, iya, santai dulu. Tapi aku tetap tidak suka kalau ada yang tiba-tiba hilang seperti ini. Rasanya ada sesuatu yang mengganggu.”
Liora mendengarkan percakapan mereka, berusaha tersenyum meski hatinya masih dipenuhi rasa cemas. Ia ikut mengangkat cangkir tehnya, mencoba mengikuti suasana yang sedikit lebih ringan ini. “Maaf ya, gara-gara aku, kalian semua jadi ikut panik,” ucapnya dengan nada bersalah.
Lukas melambai tangannya dengan santai. “Ah, sudahlah, Liora. Kau tidak perlu merasa bersalah. Kalung itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah kau tetap bersama kami di sini. Kita bisa cari lagi besok pagi.”
Elena mengangguk setuju. “Lukas benar. Lebih baik kita fokus untuk menjaga kesehatan dan kekuatan kita dulu. Bagaimanapun, perjalanan ini masih panjang.”
Isabelle mengangkat alisnya sambil menatap Liora. “Tapi serius, Liora, kau benar-benar tidak ingat di mana terakhir kali melihat kalung itu? Jangan-jangan kau tinggalkan di salah satu gerbong?”
Liora berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Aku benar-benar tidak ingat. Semuanya terasa begitu cepat, terutama setelah semua yang terjadi tadi.”
Isabelle hanya mendesah, dan tanpa sadar, ia membiarkan sisi lembutnya muncul meski dengan cara yang khas. “Ya sudah, kita cari lagi besok pagi. Tapi kau harus pastikan agar tidak terjadi hal-hal aneh lagi, ya.”
Anneliese dan Elena terkekeh pelan melihat Isabelle yang tampak lebih perhatian daripada biasanya. Mereka bertukar pandang sejenak, lalu Elena berkata dengan nada menggoda, “Wah, Isabelle, aku tidak menyangka kau bisa sepeduli ini, lho!”
Wajah Isabelle langsung memerah, dan ia berusaha mempertahankan kesan cueknya. “Ah, bukan begitu... Maksudku, kita tidak bisa punya terlalu banyak masalah di sini, kan?”
Liora menatap mereka dengan rasa hangat di hatinya. Meskipun rasa takut dan kekhawatiran belum sepenuhnya hilang, ia merasa lebih tenang bersama teman-temannya. Mereka mengobrol tentang hal-hal ringan—tentang pengalaman mereka selama di kereta, tentang kebiasaan masing-masing, bahkan tentang makanan favorit yang mereka rindukan di rumah.
Anneliese berbicara tentang ramuan-ramuan herbal yang biasa ia buat bersama ibunya, sementara Elena berbagi cerita lucu tentang kuliah medisnya dan pasien-pasien unik yang pernah ia temui. Isabelle, meski tidak terlalu banyak bicara, sesekali ikut menyindir komentar lucu yang membuat yang lain tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Festival of Ascencion
Mystery / ThrillerDalam perjalanan pulang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ibunya yang baru meninggal, Liora, seorang gadis muda dari keluarga pengguna sihir dan 13 orang lainnya terpilih menjadi kandidat dewa, mereka terjebak didalam sebuah tragedi yang...