Bab 1 - Awal yang Mengganggu

287 28 1
                                    

Yoko sedang duduk di kafe kecil di sudut kota. Pagi itu terasa hangat, dan aroma kopi segar bercampur dengan suara percakapan orang-orang di sekitar. Ini adalah salah satu tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari tekanan pekerjaan dan kehidupannya yang penuh rutinitas. Tapi pagi itu, ia merasa ada yang aneh. Matanya beberapa kali melirik ke arah jendela kafe, merasa seolah dia sedang diawasi.

Dan firasatnya benar. Dari luar, Yoko melihat seseorang yang dikenalinya dengan baik—Faye, berdiri di seberang jalan. Tatapan Faye begitu intens, seolah-olah dia sedang mengamati setiap gerakan Yoko. Mereka tidak saling bicara selama beberapa minggu terakhir, sejak Yoko memutuskan untuk menjauh demi menghindari ketergantungan yang semakin mencekiknya. Tapi Faye tetap muncul di mana-mana, seperti bayangan yang tak bisa dilepaskan.

“Yoko!” Suara Faye terdengar ceria ketika dia memasuki kafe, dengan senyum yang tampak ramah bagi siapa pun yang tidak tahu apa yang terjadi di balik senyum itu. Faye langsung duduk di hadapan Yoko tanpa diundang, membuat Yoko menegang.

“Aku... Aku tidak tahu kamu akan ada di sini,” kata Yoko, suaranya terdengar ragu. Dia mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya, tetapi cara Faye memandangnya—dengan intensitas yang mengganggu—membuat Yoko merasa telanjang.

“Bukankah itu kebetulan yang menyenangkan?” jawab Faye dengan nada ringan, meskipun tatapannya tidak pernah benar-benar lembut. Dia mencondongkan tubuh ke depan, membuat Yoko merasa terjebak di kursinya sendiri. Ada kesan bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan, tapi Yoko tidak ingin memulai konfrontasi di depan orang banyak.

Percakapan berlanjut dengan basa-basi, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Yoko berusaha untuk tetap tenang, tapi setiap kalimat yang keluar dari mulut Faye seakan memiliki lapisan makna tersembunyi, seolah-olah dia sedang menilai, menguji, atau menuntut sesuatu yang tidak diucapkan. Yoko bisa merasakan cengkeraman Faye tanpa harus disentuh.

Ketika mereka berdua keluar dari kafe, Faye menawarkan untuk mengantar Yoko pulang. Yoko mencoba menolak dengan sopan, tetapi Faye tidak menerima penolakan. “Aku ingin memastikan kamu sampai di rumah dengan aman,” katanya dengan suara yang begitu manis, hampir seperti ancaman yang terselubung.

Dalam perjalanan pulang, suasana terasa semakin berat. Yoko mencoba membuat jarak, tapi Faye terus mendekat, tangannya menyentuh bahu Yoko dengan lembut namun mengancam. “Aku merindukanmu, tahu?” ucap Faye tiba-tiba, membuat Yoko tertegun. Ada sesuatu di balik kata-kata itu, sebuah keputusasaan yang samar, namun juga keinginan yang tak dapat ditolak.

“Aku... Aku butuh waktu untuk diriku sendiri,” Yoko mencoba menjelaskan, suaranya bergetar, tetapi Faye hanya tertawa pelan, suara tawanya terdengar seperti ejekan yang halus.

“Kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah pergi begitu saja, kan?” kata Faye, berhenti sejenak, lalu berbalik menghadap Yoko dengan tatapan tajam. “Aku tahu kamu membutuhkanku sama seperti aku membutuhkamu.”

Ketika mereka sampai di depan pintu apartemen Yoko, Faye tiba-tiba memegang lengan Yoko, lebih erat dari yang seharusnya. Yoko berusaha menarik tangannya, tetapi Faye menahannya, dengan kekuatan yang terasa seperti ancaman diam-diam.

“Biarkan aku masuk,” pinta Faye, tetapi ada perintah dalam nadanya yang tidak bisa diabaikan. Yoko ragu sejenak, matanya mencari-cari alasan untuk menolak, tetapi tatapan Faye begitu dalam, begitu mendominasi, membuatnya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Yoko membuka pintu, membiarkan Faye masuk. Sesuatu dalam dirinya retak—sebuah pertahanan yang telah dia bangun mulai runtuh. Faye memasuki ruangan dengan cara yang sama seperti dia memasuki hidup Yoko—perlahan tapi pasti, tanpa ada niatan untuk pergi.

Di dalam apartemen, atmosfer terasa tegang. Faye menyusuri ruang tamu, seolah-olah sedang menilai setiap sudut ruangan, setiap jejak yang ditinggalkan Yoko. “Kamu belum berubah,” ujarnya, setengah tersenyum, setengah mencibir. Ada sesuatu yang dingin dalam caranya berbicara, sesuatu yang membuat Yoko merasa semakin terpojok.

“Aku benar-benar merindukanmu,” kata Faye sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah, lebih berbahaya. “Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”

Embers Of Desire || Faye YokoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang