Matahari terbenam di balik horizon, mengubah langit menjadi palet warna ungu dan merah yang dramatis. Suasana di sekitar Yoko terasa semakin berat. Dia duduk di bangku taman dekat apartemen, memandangi danau yang tenang, tetapi pikirannya berkecamuk. Dia merindukan ketenangan yang dulu pernah dia miliki, tetapi sekarang semua terasa begitu rumit.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari Faye: “Aku ingin berbicara. Sekarang.”
Jantung Yoko berdegup kencang. Dia tahu pertemuan ini akan menjadi penting. Mengambil napas dalam-dalam, Yoko beranjak dari bangku dan berjalan menuju apartemen, merasakan ketegangan menyelimuti setiap langkahnya.
Saat tiba, Faye sudah menunggu di dalam dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kau datang,” Faye berkata, suaranya tegas. “Kita perlu membicarakan situasi kita.”
Yoko menatap Faye, mencoba membaca niat di balik matanya yang tajam. “Aku berharap kita bisa berbicara dengan tenang,” katanya, berusaha tetap tenang meskipun hatinya bergetar.
Faye tersenyum, tetapi senyumnya tidak mencapai matanya. “Tenang? Kita tidak bisa tenang ketika ada begitu banyak yang dipertaruhkan, Yoko. Kita perlu membuat keputusan.”
Yoko mengangguk, menyadari bahwa saat ini adalah saat yang menentukan. “Faye, aku tahu kita memiliki banyak masalah yang harus dihadapi. Tetapi aku tidak ingin semuanya hanya berdasarkan dominasi satu pihak.”
“Dominasi?” Faye bertanya, suaranya mengandung nada skeptis. “Jadi, menurutmu aku berusaha mendominasi? Atau kamu merasa tertekan karena aku hanya ingin mempertahankan kita?”
Yoko merasakan amarah yang menyala. “Tidak, aku tidak merasa tertekan karena itu. Tetapi jika kita terus beroperasi dalam ketidakpastian, kita akan kehilangan segalanya,” jawabnya dengan berani.
Faye mengangguk, tetapi dia tampak tidak puas. “Apa yang ingin kamu lakukan? Kamu mau pergi? Meninggalkan semua ini?” Dia maju mendekati Yoko, menghalangi jalannya.
Yoko merasakan ketidaknyamanan menyergap. “Aku tidak mau pergi. Aku ingin kita saling memahami, bukan saling mendikte.”
Faye melangkah lebih dekat lagi, jaraknya kini sangat dekat. “Kau tahu, terkadang aku merasa kamu tidak sepenuhnya di sini. Seolah kamu lebih memilih untuk bersembunyi di balik kata-kata. Apakah kamu yakin kau ingin berjuang untuk kita?”
Yoko berusaha untuk tidak mundur. “Faye, aku ingin berjuang untuk kita, tetapi kita perlu saling mendengarkan. Kita tidak bisa terus saling menyerang seperti ini.”
Faye menyeringai, tetapi ada sedikit kekhawatiran di dalam senyumnya. “Kita bisa melakukan apa saja, Yoko. Asalkan kamu mau berkomitmen. Jika tidak, maka kita hanya akan berputar-putar dalam kebuntuan ini.”
“Komitmen seperti apa?” Yoko bertanya, jantungnya berdetak cepat. “Apakah kamu menginginkanku sepenuhnya tanpa memperhatikan perasaanku?”
Faye memiringkan kepala, ekspresinya seakan menganalisis Yoko. “Aku ingin kamu menjadi milikku, sepenuhnya. Tapi jika itu membuatmu merasa tertekan, kita bisa mencari jalan lain,” jawabnya dengan nada provokatif.
Yoko merasa tercekik. “Jalan lain seperti apa? Apa kita harus bersembunyi dari kenyataan?”
Faye mendekat, menatap mata Yoko dengan tajam. “Mungkin aku hanya perlu menunjukkan betapa berartinya kamu bagiku. Dengan cara yang lebih tegas.”
Dalam sekejap, Faye meraih lengan Yoko, menariknya mendekat hingga mereka berdiri berhadapan, jarak di antara mereka semakin kecil. “Kau perlu memahami, aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Kita terikat dalam ikatan ini. Dan jika itu berarti aku harus membuatmu merasakan betapa aku peduli padamu, maka aku akan melakukannya.”
Yoko merasakan ketegangan di udara. “Faye, aku...”
“Jangan,” Faye memotong, suaranya penuh ketegasan. “Dengarkan aku. Aku tidak ingin kamu ragu-ragu. Jika kamu tidak yakin tentang apa yang kita miliki, maka aku akan menunjukkan pada kamu.”
Yoko merasa terjebak dalam tatapan Faye. Ada kombinasi antara ketakutan dan daya tarik yang begitu kuat, tetapi di saat yang sama, dia merasakan batasan-batasannya sedang diuji. “Kau tidak bisa memaksaku untuk merasa dengan cara tertentu,” katanya dengan tegas, meskipun ada sedikit keraguan di dalam suaranya.
Faye tersenyum lagi, kali ini senyumnya penuh tantangan. “Oh, tapi aku bisa. Dan aku akan. Apakah kamu siap untuk menghadapi konsekuensinya?”
Saat malam semakin larut, ketegangan di antara mereka tidak mereda. Yoko merasakan keinginan untuk melawan, tetapi di sisi lain, rasa ketertarikan yang mendalam pada Faye membuatnya bingung. Dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa berdiri sendiri, tetapi kehadiran Faye yang begitu mendominasi selalu berhasil menariknya kembali.
Faye bergerak lebih dekat, membuat Yoko tidak bisa menghindar. “Kita akan melalui ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Yoko. Tidak sekarang, tidak pernah.”
Ketegangan di antara mereka terasa seperti petir yang siap menyambar. Yoko tahu bahwa setiap langkah ke depan harus ditentukan dengan hati-hati. Dia tidak hanya berjuang untuk cinta, tetapi juga untuk kebebasannya.
Akhirnya, dalam ketegangan yang menggigit, Yoko memutuskan. “Faye, aku ingin kita berjuang. Tetapi kita harus melakukannya dengan cara yang sehat. Kita tidak bisa terus berada di jalur ini, saling mengancam satu sama lain.”
Faye menatap Yoko, dan untuk sejenak, ada ketidakpastian di dalam matanya. “Baiklah. Tapi ingat, aku tidak akan pernah mundur dari apa yang aku inginkan.”
Yoko merasa sedikit lega, tetapi dia tahu perjalanan ini masih panjang. Dengan ketegangan yang terus berlanjut, mereka berdua siap menghadapi apa pun yang akan datang—baik itu tantangan, cinta, atau konfrontasi yang lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embers Of Desire || Faye Yoko
FanficKisah cinta, obsesi, dan perjuangan yang gelap dan menegangkan untuk mengatasi masa lalu yang gelap. Faye Peraya Malisorn, seorang wanita yang kuat dan ambisius, terperangkap dalam permainan berbahaya di mana cinta bisa menjadi senjata, dan gairah b...