Pagi menjelang, tetapi suasana di dalam hati Yoko masih gelap. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke dinding. Setiap kata yang diucapkan Faye terngiang di telinganya. Ketidakpastian membanjiri pikirannya—dia merasakan tekanan yang berat, seakan ada sesuatu yang harus dia lakukan, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Yoko berusaha untuk bangkit, merapikan tempat tidurnya dan bersiap-siap untuk beraktivitas, tetapi semangatnya tampak hancur. Dia merasa terperangkap dalam jaring yang dibuat oleh Faye, dan semakin dalam dia merenungkan situasinya, semakin sulit baginya untuk melawan.
Saat menghirup udara segar di luar ruangan, Yoko berusaha menenangkan pikirannya. Dia ingin berlari, menjauh dari semua ini, tetapi saat berbalik, sosok Faye berdiri di ambang pintu, tatapan tajam dan penuh dominasi. “Kamu sedang berusaha menghindar lagi?” Faye bertanya, suaranya penuh tantangan.
Yoko mengatur napas, berusaha menahan ketegangan di dalam dadanya. “Aku hanya butuh waktu untuk berpikir,” katanya, berusaha terdengar tenang.
Faye melangkah maju, menggeser jarak di antara mereka dengan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan. “Berpikir? Atau mencari cara untuk melarikan diri dariku?” Dia menghentikan langkahnya, menatap Yoko dengan tajam. “Kamu tahu kita tidak bisa terpisah, bukan?”
“Faye, ini bukan tentang melarikan diri,” Yoko menjawab, berusaha mempertahankan suara yang mantap. “Ini tentang memahami apa yang kita inginkan dari hubungan ini.”
Faye tersenyum sinis. “Apa yang kamu inginkan? Kebebasan? Atau rasa aman dari semua ini? Kita tidak bisa berdua di dua dunia yang berbeda, Yoko. Kita harus menetapkan satu tujuan.”
“Dan tujuanku adalah kebebasan, bukan terperangkap dalam hubungan yang mengendalikan!” Yoko tidak bisa menahan diri. Suaranya meninggi, mengungkapkan ketidakpuasan yang terpendam.
Faye mengerutkan alisnya, dan dalam sekejap, dia melangkah maju, memperdekat wajah mereka. “Jadi kamu memilih untuk menolak? Menolak semua yang kita miliki?” Dia menekan tubuhnya ke arah Yoko, menantangnya dengan intensitas yang membara.
“Tidak, bukan itu,” Yoko merasakan ketakutan menggerogoti. “Tapi aku tidak bisa bertahan jika ini semua hanya tentang apa yang kamu inginkan!”
Faye tidak menjawab. Dia hanya menatap Yoko dalam diam yang menegangkan, hingga akhirnya mengangkat tangan dan menyentuh pipi Yoko dengan lembut. “Kita harus berjuang untuk ini, Yoko. Jika kamu merasa tertekan, kita bisa mencari cara untuk membuatnya lebih mudah. Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
Yoko merasakan jari-jari Faye di pipinya, campuran antara ketenangan dan ancaman. “Tapi Faye, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada merasa tidak berdaya,” dia berkata pelan, suaranya bergetar.
Faye melangkah mundur, dan senyumnya meredup. “Jika itu yang kamu rasakan, aku akan mengubahnya. Aku akan membuatmu merasakan kekuatan yang selama ini kamu hindari.” Dalam suara Faye terdapat nada tantangan, dan Yoko merasakan dorongan untuk melawan.
Setelah percakapan yang menegangkan, Yoko berusaha untuk berfokus pada hal-hal yang lebih positif. Dia mengambil napkin dan mencoret-coret gambar sebagai cara untuk mengekspresikan perasaannya. Namun, semakin dia menggambar, semakin dia merasa terjebak dalam dunia yang tidak ingin dia masuki.
Ketika malam tiba, Faye mengundang Yoko untuk berkumpul di ruangan tamu. “Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” Faye berkata dengan nada menggoda, senyum di wajahnya menyiratkan sesuatu yang misterius.
Yoko mengangkat alisnya, waspada. “Apa itu?”
Faye menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar Yoko mendekat. “Datanglah, kamu harus melihat ini.”
Yoko meragu, tetapi dorongan untuk mengikuti Faye membuatnya melangkah maju. Dalam ruangan tamu, Faye telah menyiapkan sebuah layar besar, menampilkan gambar-gambar momen-momen indah dari kehidupan mereka. Yoko merasakan campuran rasa nostalgia dan ketidakpastian.
“Kita memiliki banyak kenangan indah, Yoko,” Faye mulai berbicara. “Dan aku tidak ingin semuanya hancur begitu saja. Kita harus berjuang untuk ini.”
Yoko menatap layar, teringat akan kebahagiaan yang mereka alami bersama, tetapi dia juga merasakan bayangan kelam yang menghantui mereka. “Faye, aku tidak bisa terus hidup di antara kenangan dan ketakutan,” katanya perlahan. “Kita harus bicara jujur tentang apa yang kita inginkan.”
Faye menggelengkan kepala, tampak frustrasi. “Berbicara jujur? Kita sudah berbicara, dan apa yang aku dapatkan? Ketidakpastian dari dirimu! Apakah kamu akan terus menolak kita? Apakah kamu akan membiarkanku sendiri?”
Yoko tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa terjebak di antara perasaannya yang mencintai Faye dan keinginannya untuk bebas. “Faye, aku ingin kita menjadi kuat, tetapi kita tidak bisa melakukannya dengan cara ini.”
“Lalu apa yang kamu usulkan?” Faye bertanya, suaranya datar tetapi penuh tekanan. “Apakah kamu bersedia kehilangan semua ini? Apakah kamu bersedia merusak apa yang kita miliki hanya karena ketakutan?”
Yoko merasakan desakan di dalam dadanya. “Aku tidak ingin merusak apa pun, tetapi kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang. Kita harus saling percaya dan memberi ruang satu sama lain.”
Faye berdiam diri, menatap Yoko dengan tajam, dan Yoko merasakan getaran di udara. “Jika itu yang kamu inginkan, maka kamu harus membuktikannya. Berjuanglah untuk kita. Buktikan bahwa kamu tidak akan pergi. Jika tidak, maka kita akan menghadapi konsekuensinya.”
“Konsekuensi apa?” Yoko bertanya, merasakan jantungnya berdegup kencang.
“Segalanya, Yoko. Jika kamu berani pergi, aku tidak akan membiarkanmu melakukannya tanpa ada yang membayar harga,” Faye menjawab, nadanya menegaskan ancaman yang mendalam.
Yoko merasakan ketegangan memuncak. Dia tahu, saat ini, dia berada di titik balik yang menentukan. Jika dia ingin mempertahankan cintanya sekaligus kebebasannya, dia harus berani menghadapi Faye dengan tegas dan berani menegaskan batasan-batasannya.
Malam itu, setelah Faye pergi, Yoko duduk sendiri di ruangan tamu, menatap foto-foto yang menggantung di dinding. Dia tahu, saatnya untuk bangkit dan melawan rasa takutnya. Dia tidak bisa terus terjebak dalam permainan ini—dia harus menemukan cara untuk melindungi dirinya sendiri.
Dengan ketegasan baru, Yoko berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan membiarkan Faye mengendalikan hidupnya. Dia harus menemukan cara untuk berbicara pada Faye dengan cara yang menuntut pengertian dan batasan, tanpa kehilangan jati dirinya.
Dia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan berjuang untuk kita, tetapi aku juga akan berjuang untuk diriku sendiri. Kita akan menemukan jalan yang tepat.”
Yoko merasa semangatnya bangkit kembali, meski dalam kegelapan yang menyelimuti. Dia tahu bahwa jalan di depan akan sulit, tetapi dia tidak akan mundur lagi. Dia akan melawan demi cintanya dan demi kebebasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embers Of Desire || Faye Yoko
FanfictionKisah cinta, obsesi, dan perjuangan yang gelap dan menegangkan untuk mengatasi masa lalu yang gelap. Faye Peraya Malisorn, seorang wanita yang kuat dan ambisius, terperangkap dalam permainan berbahaya di mana cinta bisa menjadi senjata, dan gairah b...