Bab 118 : Axel Ingin Tau Tentang Ibunya

16 1 0
                                    

Waktu berlalu begitu cepat. Dua belas tahun telah mengubah istana Sanguis  Lunae menjadi istana Crimsonblade dari tempat yang dipenuhi duka menjadi rumah bagi seorang pangeran muda yang tumbuh di bawah pengawasan ayahnya yang penuh dedikasi. Pangeran Axel Luminaris von Crimsonblade telah tumbuh menjadi sosok yang begitu mirip dengan ayahnya, Kaisar Xyon - baik secara fisik maupun kepribadian.

Di pagi yang berkabut ini, Axel berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Rambut peraknya yang panjang berkilau ditimpa cahaya fajar yang menembus tirai, mata merahnya menatap tajam pada refleksi dirinya sendiri. Seragam akademi kerajaan membalut tubuhnya dengan sempurna - jubah hitam dengan aksen merah dan perak, lambang keluarga Crimsonblade tersemat di dada kirinya.

"Yang Mulia Pangeran," seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya. "Kaisar Xyon menunggu Anda di ruang kerjanya."

"Hn." Hanya itu respons yang keluar dari bibir Axel. Singkat dan dingin, persis seperti cara ayahnya dulu berbicara.

Lorong-lorong istana yang biasanya ramai oleh para pelayan mendadak sunyi saat Axel melangkah. Para pelayan membungkuk dalam-dalam, beberapa bahkan menahan napas. Di usianya yang baru dua belas tahun, Axel telah membangun reputasi sebagai pangeran yang brilliant namun sulit didekati.

Prestasi akademisnya sempurna. Kemampuan berpedangnya mengungguli semua guru. Penguasaan sihirnya - warisan dari darah campuran vampir dan manusia kedua orangtuanya - jauh melampaui anak-anak seusianya. Tapi tidak ada yang pernah melihatnya tersenyum, kecuali saat bersama Kaisar Xyon.

Pintu ruang kerja Xyon terbuka bahkan sebelum Axel mengetuk. "Masuklah, Axel."

Di dalam, Xyon sedang membaca beberapa dokumen. Waktu seolah berhenti bagi sang Kaisar Vampir - wajahnya masih sama seperti dua belas tahun lalu. Hanya matanya yang menyimpan lebih banyak kesedihan, meski selalu melembut saat menatap putranya.

"Papa." Axel membungkuk hormat sebelum duduk di kursi di depan meja kerja ayahnya. "Ada yang ingin Papa bicarakan?"

Xyon meletakkan dokumennya. "Bagaimana akademimu hari ini?"

"Sempurna seperti biasa," jawab Axel datar. "Aku mengalahkan senior-seniorku dalam latihan pedang. Dan nilai ujian sihirku tertinggi di angkatan."

Xyon tersenyum bangga. "Kau memang putraku."

Hening sejenak. Axel menatap lukisan besar yang tergantung di dinding - potret keluarga yang dilukis dua belas tahun lalu, saat ibunya masih hidup meski hanya untuk waktu yang sangat singkat. Dalam lukisan itu, Xienna tersenyum lembut sambil menggendong Axel bayi, sementara Xyon berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh cinta.

"Papa," Axel akhirnya membuka suara. "Ceritakan padaku tentang Mama."

Senyum di wajah Xyon memudar. Matanya menerawang jauh, seolah berusaha menghindari topik ini. "Bagaimana kalau kita membahas strategi pertahanan kerajaan? Ada beberapa hal yang ingin Papa tunjukkan padamu..."

"Papa selalu begitu," potong Axel, matanya menyipit tajam. "Setiap kali aku bertanya tentang Mama, Papa selalu mengalihkan pembicaraan."

"Axel..."

"Apa Papa pikir aku tidak pantas tahu?" Nada dingin dalam suara Axel menyembunyikan luka. "Atau Papa masih terlalu sedih untuk membicarakannya?"

Xyon tertegun. Ekspresi Axel, cara bicaranya, bahkan caranya menatap sinis - semua mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu. Sebelum Xienna hadir dan mencairkan es di hatinya.

Tiba-tiba, tawa kecil keluar dari bibir Xyon.

"Kenapa Papa tertawa?" tanya Axel bingung.

"Kau sangat mirip denganku," Xyon tersenyum, nostalgia terpancar di matanya. "Dulu, sebelum bertemu ibumu, aku juga sepertimu. Dingin, ketus, selalu memasang tembok tinggi di sekeliling hati."

Axel terdiam, menunggu ayahnya melanjutkan.

"Tapi ibumu..." Xyon bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman mawar. "Dia seperti musim semi yang mencairkan es di hatiku. Xienna sangat menyukai bunga, terutama mawar merah. Setiap pagi, dia akan menghabiskan waktu di taman ini, bernyanyi untuk bunga-bunganya."

"Bernyanyi untuk bunga?" Untuk pertama kalinya hari itu, ada kilat ketertarikan di mata Axel.

"Ya," Xyon tersenyum mengingat kenangan itu. "Dia percaya bunga bisa mendengar dan merespons nyanyian. Dan ajaibnya, bunga-bunga di taman ini memang selalu mekar lebih indah saat dia bernyanyi."

Axel bangkit, berdiri di samping ayahnya. "Seperti apa suara Mama?"

"Lembut seperti hembusan angin musim semi," jawab Xyon. "Tapi juga kuat, penuh kehidupan. Saat dia tertawa, seluruh istana seolah ikut berbahagia."

"Papa sangat mencintai Mama," gumam Axel, sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

"Sangat," Xyon mengakui. "Dan cinta itu tidak pernah berkurang, bahkan setelah dia pergi."

"Apa... apa Mama menderita?" Axel bertanya ragu.

Xyon menghela napas panjang. "Hidupnya tidak mudah. Sebagai manusia yang jatuh cinta pada vampir, dia menghadapi banyak penolakan. Tapi ibumu adalah wanita yang sangat kuat. Dia tidak pernah menyerah pada cinta kami."

"Bahkan saat sekarat pun," lanjut Xyon, "yang dia pikirkan hanyalah kebahagiaan kita. Dia berjuang keras agar bisa melahirkanmu, memberikan kesempatan padamu untuk hidup, meski itu berarti dia harus pergi selamanya."

Air mata mulai menggenang di mata Axel. "Apa... apa Mama sempat melihatku?"

"Ya, sayang," Xyon merangkul putranya. "Dia melihatmu, menggendongmu, menciummu. Dan dia sangat bahagia. 'Dia sempurna,' katanya. 'Sepertimu, Xyon.'"

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, tembok es di hati Axel retak. Air mata mengalir di pipinya.

"Dan kau tahu apa yang paling membahagiakan Mama?" Xyon mengusap air mata putranya. "Rambutmu yang perak, persis sepertiku. Dan matamu yang merah, warisan dari darah vampir kita. Dia bilang kau adalah bukti nyata dari cinta kami yang mengalahkan kematian itu sendiri."

The Villain Is Obsessed With Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang