Bab 155 : Melepaskan Amarah

7 1 0
                                    


Nathan berdiri di koridor, tangannya terkepal erat saat melihat Vincent berjalan melewatinya dengan senyum ramah yang biasa. Rahangnya mengeras, matanya menyiratkan kebencian yang mendalam. Namun tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.

"Selamat pagi, Pierce," sapa Vincent dengan nada ceria yang kini terdengar begitu palsu di telinga Nathan.

Nathan hanya mengangguk kaku, memilih untuk segera berlalu. Setiap pertemuan dengan Vincent kini terasa seperti siksaan - sebuah pengingat akan ketidakberdayaannya mengungkap kebenaran.

Di kelasnya, Xienna mengamati perubahan ini dengan khawatir.

"Nathan," panggilnya lembut saat mereka duduk bersama di kantin. "Kau masih..."

"Tidak," potong Nathan, suaranya terdengar lelah. "Aku tidak ingin membahasnya."

"Tapi kau terlihat tersiksa setiap kali bertemu Vincent."

Nathan menatap makan siangnya yang nyaris tidak tersentuh. "Aku tahu. Dan itu membuatku gila, Xienna." Dia mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Xienna. "Aku tidak bisa membuktikan apapun. Setiap kali aku merasa sudah dekat dengan kebenaran, semuanya menghilang seperti asap."

"Mungkin... mungkin sudah waktunya melepaskan?" usul Xienna hati-hati.

Nathan terdiam sejenak. Kata-kata Xienna mengingatkannya akan berapa banyak waktu dan energi yang telah dia habiskan untuk obsesinya terhadap identitas Vincent. Berapa banyak malam tanpa tidur, berapa banyak makanan yang dilewatkan, berapa banyak momen berharga yang tersia-siakan.

"Kau benar," akhirnya dia berbisik. "Aku tidak bisa membiarkan dia mengambil alih hidupku seperti ini."

Xienna tersenyum lembut, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Nathan. "Kau tidak sendirian, Nathan. Aku selalu ada di sini."

Dari kejauhan, V mengamati interaksi mereka. Seringai tipis muncul di wajahnya saat melihat Nathan mulai mengalihkan perhatiannya.

'Menarik,' pikirnya. 'Dia memilih untuk mundur. Tapi apakah benar-benar mundur... atau ini hanya ketenangan sebelum badai?'

Hari-hari berikutnya, Nathan mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan Xienna. Mereka belajar bersama di perpustakaan, makan siang bersama, dan terkadang hanya duduk dalam diam menikmati kehadiran satu sama lain. Perlahan tapi pasti, lingkaran hitam di bawah mata Nathan mulai memudar, dan senyumnya mulai kembali.

"Tahu tidak," kata Nathan suatu sore saat mereka berjalan pulang bersama. "Aku baru sadar betapa banyak hal yang kulewatkan karena terlalu fokus pada... kau tahu."

Xienna tersenyum. "Yang penting sekarang kau sudah kembali."

Nathan mengangguk, menatap langit senja. Ya, dia memang sudah kembali. Meskipun jauh di sudut hatinya, pertanyaan tentang Vincent masih bersarang, dia memilih untuk tidak membiarkannya mengambil alih hidupnya lagi.

Di ruang OSIS, V membaca laporan tentang aktivitas Nathan yang menurun drastis.

"Sepertinya permainan kita berhasil, Tuan," kata Alex. "Dia mulai menyerah."

V melepas topeng peraknya, matanya berkilat berbahaya. "Belum, Alex. Ini baru permulaan. Biarkan dia merasa aman dulu... sebelum kita mulai babak berikutnya."

Sementara itu, Nathan dan Xienna berjalan pulang di bawah langit senja, tidak menyadari bahwa ketenangan ini mungkin hanya sementara. Tapi untuk saat ini, Nathan memilih untuk menikmati momen ini - momen di mana dia bisa bernapas lega, tertawa lepas, dan merasakan kehangatan persahabatan yang tulus.

Minggu sore itu, mall Grand Plaza tampak ramai dengan pengunjung weekend. Di antara kerumunan, seorang pria bermasker hitam dengan topi dan jaket kulit berjalan dengan langkah anggun namun terburu-buru. Dia adalah V, kali ini menyamar sebagai Kaito Suzuki - seorang aktor yang terkenal dengan peran-peran melankolis dan karakternya yang lembut.

Di sisi lain mall, Nathan dan Xienna berjalan keluar dari toko buku.

"Terima kasih sudah menemaniku, Nathan," Xienna tersenyum, memeluk buku barunya. "Kau tidak perlu repot-repot begini."

"Hey, aku tidak mau ambil risiko kau bertemu mereka lagi," Nathan mengangkat bahu. "Lagipula, aku juga butuh refreshing."

Saat mereka berbelok di persimpangan menuju food court, semuanya terjadi begitu cepat. Xienna, yang sedang membuka halaman bukunya sambil berjalan, bertabrakan dengan seseorang.

"Ah!" Xienna terhuyung, bukunya jatuh.

"Oh, maafkan saya," suara lembut dan dalam terdengar dari balik masker hitam. Pria itu segera membungkuk, mengambilkan buku Xienna. "Saya terlalu terburu-buru."

Nathan, yang berdiri di samping Xienna, tiba-tiba merasakan sesuatu yang familiar. Cara pria itu bergerak, postur tubuhnya...

"Tidak apa-apa," Xienna tersenyum menerima bukunya kembali. "Saya juga salah karena berjalan sambil membaca."

Pria itu mengangguk sopan, matanya yang teduh memancarkan ketulusan. "Sekali lagi maaf. Saya harus segera pergi." Dia membungkuk sekali lagi sebelum berlalu dengan langkah cepat.

Nathan menatap punggung pria itu menjauh, alisnya berkerut. Ada sesuatu yang sangat familiar...

"Nathan?" Xienna menyentuh lengannya. "Kau baik-baik saja? Kau terlihat..."

"Ah, tidak," Nathan menggeleng, memaksakan senyum. "Hanya merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Mungkin di TV?"

Di lorong sepi mall, V melepas maskernya sejenak, tersenyum tipis. "Timing yang sempurna," bisiknya ke earpiece. "Alex, pastikan CCTV di area itu terhapus. Kita tidak ingin meninggalkan jejak."

"Sudah dilakukan, Tuan. Bagaimana pertemuannya?"

"Sangat... menarik. Pierce hampir mengenaliku. Tapi tentu saja, dia tidak akan pernah bisa membuktikannya." V terkekeh pelan. "Dan gadis itu... Xienna. Dia memang seperti yang diceritakan - polos dan tidak curiga."

Kembali ke food court, Nathan dan Xienna duduk menikmati es krim.

"Kau tahu," kata Xienna sambil menyendok es krimnya, "pria tadi mengingatkanku pada seseorang."

Nathan langsung menegakkan tubuhnya. "Siapa?"

"Entahlah," Xienna mengangkat bahu. "Mungkin karena suaranya lembut seperti Vincent? Tapi tidak, berbeda... lebih dalam mungkin?"

Nathan merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Tapi dia memilih untuk diam, mengingat janjinya untuk tidak membiarkan obsesinya mengambil alih lagi.

Di ruang VIP sebuah restoran mewah di lantai atas mall, V kini duduk berhadapan dengan seorang eksekutif, masker hitamnya sudah diganti dengan yang baru.

"Maaf atas keterlambatan saya," ucapnya dengan nada Kaito Suzuki yang lembut. "Ada sedikit... pertemuan tak terduga di jalan."

Eksekutif itu tersenyum maklum. "Tidak masalah, Kaito. Atau haruskah saya memanggil Anda..."

V mengangkat tangannya, menghentikan kalimat itu. "Nama itu tidak perlu disebutkan di sini. Mari kita fokus pada bisnis kita."

Sementara itu, dalam perjalanan pulang, Nathan tidak bisa mengenyahkan perasaan familiar itu dari benaknya. Tapi dia memilih untuk menguburnya dalam-dalam. Tidak, dia tidak akan kembali ke lubang kelinci itu. Tidak ketika dia akhirnya bisa bernapas lega dan menikmati waktu dengan Xienna.

'Mungkin memang hanya kebetulan,' pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. 'Mungkin memang hanya seorang aktor biasa.'

Tapi jauh di sudut hatinya, sebuah alarm kecil terus berbunyi...

The Villain Is Obsessed With Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang