"Kau suka di Semarang, agaknya," seru parau seorang temanku di telepon.
Senja meradu. Membawa narasi pendek mengenai aku yang telah balik ke peraduan susur galur. Aku duduk di kursi sembari beromong-omong dan mengabari rekan sejawatku di Surabaya. Memastikan mereka tak memberitahu Bapak tentang kepulanganku ke Semarang. Beliau tidak suka aku datang ke rumah Ibu.
Lebih-lebih (lagi) jika dia tahu aku sengaja keluar dari persuratan kabar Hindia Belanda demi bekerja di surat kabar bumi putera biasa. Ah, mereka itu bodoh dan tidak tahu diuntung, tenggangnya jika tahu. Semua orang tahu bapak orang blanda yang berkepala besar, sok mengatur ke tanah mana kaki anaknya mesti berpijak.
"Mas Dahlan." Roem masuk, memanggil pelan dari pintu setelah kusudahi bincang di telepon. Sudah lama aku tidak mendengar namaku dipanggilnya demikian. Sedang, dahulu aku paling dekat dengan Roem setelah Soleh. Sekarang sang ajeng tinggal di sini menemani Ibu, selayaknya menggantikan keberadaanku selaku anak asli tuan rumah.
"Iya, dik?"
"Ibu biasa sore pulangnya, Mas mau makan dulu?"
Aku menimbang. O, andai aku tak makan banyak di pasar dekat stasiun kami pasti sudahlah ada di meja makan dan bincang-bincang dahulu. "Tidak usah, Roem. Aku mau ke rumah Soleh, kamu temani mas, ya."
Dia meleguh masuk. Wangi si ajeng telah bercampur aroma daun teh di meja. Dia menolak dan menunjukkan tangannya yang kotor sehabis memasak. Roem sudah pandai mengurus rumah sejak di HIS, sebab bapaknya yang kolot tidak suka dia banyak belajar dan ingin Roem cepat menikah dengan sesama priyayi Jawa.
"Tidak usah dipusingkan," sanggahku menyenangkan hatinya. "Kau sudah cantik."
Kutariklah tangan si adinda dan keluar dari peraduan. Ia tak menolak sedikitpun. Malahan Roem tertawa dan bercanda mengingat-ingat waktu dulu. Roem masih sebelas tahun kala aku keluar dari rumah ibu. Kami sudah sedekat saudara sejak jua.
Di jalan Roem bercerita dia berhenti sekolah mulai dari HBS. Selama itu pun dia masih suka belajar sendiri, dua kali satu minggu Roem melancong ke pendopo untuk setakat membaca buku. Kadang dia pergi bersama Soleh, kadang tidak. Sayang, Soleh bukanlah orang yang suka belajar lama-lama selain menilik koran.
"Mas Dahlan sendiri bagaimana sekolahnya di Blanda?" Gantian kali ini si ajeng yang bertanya.
"O, perkara itu. Aku tidak bagus-bagus juga. Leerar di Nederland keras-keras. Pada awalnya bapak ingin aku sekolah ingenieur tapi kutolak mentah-mentah. Aku ancam, jikalau bapak memaksa aku bakal balik ke Hindia," jawabku seperempat tertawa.
"Tapi mas tetap balik ke sini, toh."
"Mau bagaimana lagi, aku tak senang di sana."
Si ajeng mendengar kata-kataku seksama. Karena tak suka, jadi, ku sudahi membahas-bahas perkara itu. Tak lama kami sampai di peraduan keluarga Soleh. Di pintu kami disambut oleh bapak-ibu sang raden yang cakap dan bertegur selayaknya dahulu di ambangan.
Kami saling memuas-muaskan diri beromong-omong di kursi rotan teras. Soleh kembali penasaran apa bapak sudah menunangkanku dengan nona-nona dari Belanda supaya aku tidak kabur-kaburan lagi. Kujawab aku tidak tertarik meminang orang Belanda. "Jadi, kau bakal tinggal selama hayatmu di sini?" tanya Soleh. Kulirik Roem juga tertarik menunggu jawabanku.
"Jika Tuhan membolehkan, siapa tahu aku di sini sampai londo-londo itu balik ke kampungnya."
Soleh tertawa. "Dasar, memang mimpi wartawan koran." Dia kembali menyeruput teh panas di meja sembari berkata, "Padahal sudah bagus-bagus di Slompret Melajoe kau malah mau menulis di surat kabar lahiran pribumi. Penulis bawah tanah rawan diasingkan."
"Sudahlah, kau sendiri pun suka kalau aku mencaci maki londo-londo tamak itu di koran."
Sendaku bergurau. Soleh menggeleng tak ingin pusing. Berita pengasingan jurnalis bumi putera sudah bagai makanan ayam buat Hindia. Kalau-kalau Selompret Melajoe diambil kepemilikan oleh pribumi pun para wartawannya bisa jadi diturunkan paksa ramai-ramai. Dan boleh jadi Soleh jadi orang yang paling menentang untuk aku diasingkan.
Sesungguhnya aku tidak bernafsu untuk dikirim jauh-jauh lagi dari Jawa. Andai aku sudi menjadi priyayi biasa, aku boleh saja seperti Soleh, hidup senang dan mansyur menjual properti ke orang-orang Putih. Toh, bapakku sendiri sudah orang Belanda. Dan jika demikian, maka Hindia akan kehilangan satu jurnalis yang bahadur.
Roem menarik cawan menuangkan teh lagi untuk kami. Si ajeng tidak mau banyak bertukar pikiran selain dari sepakat dengan Soleh—tidak mau kalau-kalau aku sampai diasingkan. Kudengar-dengar pun wartawan di depan jalan dibuang ke Tanah Merah dan wafat karena malaria. Kendatipun itu tidak membuatku jeri hati.
Kureguk lagi satu gelas teh di meja. Kembali kutenggok keluar jendela tuk sekali lagi, menner dan mevrouw mondar-mandir di jalan orang-orang jawa. Pun mereka sangat berani memanggil si empu Inlander di tanahnya. Napas keluar dari mulut bagai bara. Kupamit pada Soleh untuk merokok di luar.
Kutompang salah satu tiang teras dan memantik lisong di tangan. Kelakar senda gurau Roem terdengar dari dalam sudung, bak ayat kepunyaan pujangga tersohor setanah Hindia. Tak heran kalau Soleh pernah beromong jatuh hati pada si ajeng sewaktu di HIS. Kusahuti mereka, kugodai Soleh tentang rasa hatinya, dan dia malah menutup jendela rumah sambil sewot.
"Diamlah, asap lisong kau tuh masuk rumah!" teriaknya beralasan. Aku balik duduk di bangku teras sambil tertawa-tawa.
Sehabis itu, dua-tiga kali kusapa para orang kampung di jalan. Sekurangnya pun aku masih mengenal mereka. Malahan mereka yang telah lupa denganku. Siapa pula yang tak bingung? Tahu-tahu anak indo itu sudah pulang. Pun aku sudah semirip Belanda totok, tak lagi merupa ibunya yang pribumi.
Larut-larut hari menjelang senja. Roem dan aku berpamitan tuk balik. Kami menyusur sang bahari selagi surya berjalan di tepi. Satu-satu lampu minyak dinyalakan dari rumah orang kampung dan anak-anak berlari pulang mengaji dari surau. O, pemandangan yang tak akan kutemui di Nederland.
Ujug-ujug di jalan seorang supir delman berhenti tuk menawari kami naik, tapi kutolak dengan halus. Toh, rumah kami cuma tinggal sejengkal di ufuk.
Tetiba dari atas delman seorang nyai berteriak kalang kabut. Ia membeliak ke arah aku, sampai-sampai si kuda hampir rubuh. Sungguhpun suaranya masih renik. Nyai itu memanggilku keras, "Ya Allah, Drien!"
"Ibuk!"
/•/
Leerar: Guru
Menner: Tuan
Mevrouw: Nyonya
Inlander: pribumi atau orang lokal, namun memiliki konotasi merendahkan.
HBS (Hogere Burgerschool): Sekolah menengah setingkat SMA yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga Eropa atau kaum elit pribumi.
HIS (Hollandsch-Inlandsche School): Sekolah setingkat SD diperuntukkan bagi anak-anak pribumi kelas atas dengan pengantar bahasa Belanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah pènuelis Lampaoe
Historical Fiction[Hiatus] Kami bukan pahlawan bersenjata bambu, kami pahlawan bersenjata kertas. Bercerita tentang seorang tokoh penulis bernama Dahlan Hadjoeri-Houwer. Seorang penulis muda priyai yang menjadi pejuang pada kisahnya sendiri. Dahlan tergambar oleh ide...