Kembalinya aku pada pengakhir bulan bagai petunjuk akan janji kecil roman seumur jagung. Sekali, bagai pengampunan tiada arti. Aku melihat negeriku coba diulang kembali dari dalam lokomotif berbaja eropa.
Bangunan dirian kolonial telah lalu oleh kecepatan kerangka roda besi. Semarang jauhlah lebih enak dipandang. Ada stasiun, bangunan parlemen berhias kaca patri, terlebih beberapa bangunan percetakan yang gelak menyebar di tanah Jawa.
Orang-orang mula berjelajah bersama ningrat. Beriringan antar bumi putera dan orang-orang Indo.
Apakah aku ningrat? Tidak, itu adalah ibuku. Aku sendiri masih ingat betul tempatku di Indonesia.
Aku adalah orang pengejar derajat perintis. Yang mana tidak sama serta dengan kedudukan orang tua ibu-malah aku sendiri pun suka dikira bukan anak ibu-yang seorang ningrat. Terlalu sering pula orang-orang berhenti memanggilku Dahlan. Malahan sang pemberi nama sudah jarang pula memanggil dengan nama demikian.
Kembali pada pembicaraan di luar lokomotif baja, dari ujung barat ke timur kudengar bahwa ibu pertiwi boleh berubah. Bukan soal keterlibatan sekutu demi menarik simpatik, namun soal balas budi puluhan tahun masyarakatnya. Bahwa tanam paksa telah merampas kehidupan tanah yang tertindas, soal bumi putera yang selalu di bawah kaki sepatu boot pemiliknya.
Bukan kemerdekaan, jajahan akan masih sama dengan ratusan tahun lalu. Ini tentang bumi putera yang coba diulang. Lewat irigasi, kesempatan, dan edukasi. Bahwa bukan hanya priyayi terkemuka setanah Jawa dan Sumatra yang dapat bersaing di kasta pendidikan sekolah Hindia.
Mereka pikir: bumi putera paling dungu di Hindia, mereka cuma bisa bergantung pada pemerintah, toh mau bagaimana pula juga mereka tetap akan diupah lebih rendah dari pegawai negeri Belanda dan Indo. Namun, bagiku ini kesempatan untuk meninggalkan gambaran kedaerahan itu.
Dan bagi kami-priyayi-mesti tamat pendidikan tinggi di tanah Belanda. Toh, menjadi ningrat dan tuan sawah tidak cukup untuk dihormati orang-orang Eropa. Syukur-syukur kami pintar dan dapat kembali ke Hindia saat selesai menimba ilmu, dijodohkan sesudahnya oleh sesama ningrat adalah kehormatan.
Tak sejauh menempuh perjalanan Surabaya-Semarang, kira-kira aku sudah berjalan lima belas menit setelah menaiki dokar dari stasiun. Tak usah menunggu sampai matahari balik ke peraduannya, aku terlebih dahulu melihat gapura dari kampung yang mansyur.
Syukurlah aku bertemu dengan Mas Soleh kala berjalan untuk sampai ke rumah ibu. Teringat jikalau aku pernah begitu bersahabat dengannya. Perawakan cakapnya khas priyayi pula membuat saya teringat dengannya kala masih satu sekolah di HBS. Ningrat cakap yang banyak diincar perhatiannya oleh nona-nona Belanda.
"Drien? Wah, wah, apa yang bapakmu ajarkan di Belanda sana? Perawakanmu sudah seperti orang-orang Eropa saja," tegurnya dengan suara senang berjumpa.
"Kau sudah tak kenal aku, ya? sampai-sampai tak lagi memanggilku Dahlan," tegasku. Rupa-rupanya nama panggilan itu lebih populer ketimbang nama lahirku. "Tidak, aku sudah lebih dulu setengah tahun di Surabaya."
"Kerja di Selompret Melajoe, bukan? Hebat sekali kamu ini. Sudah lanjut sekolah di Belanda, pula sekarang kerja di percetakan sesahaja tanah Jawa."
"Benar, tapi minggu lalu saya keluar."
Ia terperangah, berhenti sebagaimana yang agaknya kukira-boleh saja ia lebih terkejut dari itu.
"Keluar? Kau tak takut diseret ayahmu pulang ke Belanda?" bahasnya tak serius-ketara dari tawanya.
"Kalau beliau tahu pastinya ia sudah menyeretku sejak ada di stasiun Surabaya."
Soleh mengangguk. Menepukku seperti yang biasa orang dekat lakukan. Aku paham, bapak sering mengajarkanku untuk tak seenaknya. Beliau pasti akan memaki serta memanggilku pengecut dan tidak ajek. Itu sebabnya aku berada lama di Belanda, sekolah sampai pintar-katanya.
"Masih sering nulis? Tulisan kamu bagus, ibumu juga baca di surat kabar."
"Tulisan-tulisan wartawan lokal di surat kabar banyak yang lebih bagus dari saya," jawabku mengelak. Aku cuma beruntung karena ayah seorang Belanda.
Syukurlah, pujian itu tak masuk perhatianku. Toh memang benar demikian.
Mulanya kami hanya omong-omong biasa. Kami berbincang dengan bahasa Melayu mentah nan kaku, sudah lama tak kulatih-bahkan telah lupa-bercakap-cakap dengan bahasa Jawa. Soleh tak pandai bahasa Belanda, meski ia sekolah di HBS yang kala itu didominasi guru Eropa.
Dulu pun ia menolak habis-habisan belajar bahasa Belanda padaku. Pula ia jarang bertegur dengan guru Eropa di HBS yang membuatnya tak mahir sedikitpun.
Belum sampai seperempat mil, aku terlebih dulu melihat rumah milik Ibu. Rumah yang saat orang melihatnya akan mengira kalau sang pemilik adalah ningrat-memang benar-dan bahwa rumah itu dibeli dengan harga berkarung-karung hasil bumi atau uang dari kedudukan tingginya di Jawa.
Sedikit bimbang dan gusar untuk masuk ke pekarangan rumah sendiripun. Terpikir, siapa pula yang masih mengenalku? Bisa saja aku dikiranya orang asing di rumah sendiri dengan perawakan Eropa ini.
Kegusaranpun tak enyah meski Soleh berdalih ikut mengantar sampai depan pintu. Maka diseretlah aku di pekarangan rumahku sendiri olehnya. Bukan kerinduan bak tulisan romansa penulis terkemuka yang mahir berpuisi, justru ini seperti timbulan mengenai pemaksaan.
"Kenapa pula, Drien? Kenapa diam saja? Ayo kita masuk."
"Saya sudah kasih tahu, panggil Dahlan saja," tegas saya lanjut memberontak tak siap, sedangkan kami sudah berada di depan pintu.
"Hoi, Dik Roem! Ada Mas Drien di depan pintu, dia baru datang dari Belanda!"
"Dahlan!"
Tanganku masih menolak. Kegusaran pergi tatkala si pemilik nama keluar dari kediaman kerabatnya. Si ayu dengan senyum legit yang selaras dengan milikku-selain dari itu aku tak mewarisi kekacakan keluargaku-menembus tajam laksana menyambut tamu asing.
Aku terpegun.
"Hallo," sambutnya beragak-agak seyogianya orang-orang Eropa.
"Rupa-rupanya pun kau sendiri sudah lupa dengan Dahlan?" senggang kawan di sampingku.
"Oho, Mas Dahlan. Ya ampun! Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik saja," aku tersenyum segan. Rupa-rupanya memang tak seorangpun mengenalku sebagai Dahlan. Sebuah kemalangan untuk orang Indo sepertiku.
Andaikan orang-orang di kampung menemukan batu safir, pastinya mereka lebih senang berjumpa dengan batu safir ketimbang aku. Oh ya, berapa lama aku telah meninggalkan Hindia? 100 tahun? Peradabanpun belum berubah!
Sebandingpun dengan janjinya yang ingin mengantar, Soleh ikut duduk di kursi kayu yang sejajar denganku. Betul, bahwa aku yang memaksanya ikut masuk.
Roem memberi tahu jikalau ibu tidak di rumah saat Ahad. Padahal aku sudah berharap lebih. Berjumpa dengan beliau dan memeluknya sejak di pintu rumah sendiri.
Andai kata aku tak bertemu dengan Soleh di jalan kampung, tak akan ada kesan buruk di hari pertama diriku di Semarang. Sebuah tragedi yang tidak pernah kuharap sejak di stasiun.
"Jangan meringis, Soleh!" bisikku layak tak terima.
"Lawak sekali kawanku! Bahkan Dik Roem tidak mengenali sepupunya. Bagaimana dengan ibuku? Bisa-bisa kamu dikiranya orang totok kesasar."
Aku tersinggung. Ada pula saat untuk Soleh tak layaknya seorang Jawa beradab. Aku menengok pada jendela karena jengkel. Ada rumah milik seseorang yang katanya pedagang dari Arab. Rumahnya dibiarkan sepi. Berbeda dengan rumah-rumah lain yang ramai.
Kutengok arah lain, ada andong dan pedati-kendaraan yang tidak mungkin ada di Nederland. Tak mungkin aku serindu itu pada Nederland, cuma-cuma hanya karena pementasan teater yang sering kudatangi dengan bapak.
Kutarik sebuah buku catatan kecil di mantel cokelatku. Di dalamnya telah lebih dahulu terisi oleh nomor pos wartawan lokal Surabaya yang kudapat dari buku telpon Selompret Melajoe. Kucari halaman yang kosong. Dan aku mulai menulis tanggal di hari ini untuk sebuah puisi roman.
/•/
Akhirnya selesai juga. Banting otak:"
Dan jaga kesehatan semuanya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah pènuelis Lampaoe
Historical Fiction[Hiatus] Kami bukan pahlawan bersenjata bambu, kami pahlawan bersenjata kertas. Bercerita tentang seorang tokoh penulis bernama Dahlan Hadjoeri-Houwer. Seorang penulis muda priyai yang menjadi pejuang pada kisahnya sendiri. Dahlan tergambar oleh ide...