"Bagimana Dad?" Aku langsung bertanya begitu aku sampai di rumah. Ibuku terlihat pucat duduk di salah satu meja makan dan keponakanku yang masih berusia dua tahun duduk di pangkuannya.
Kakakku telah menelepon sore ini saat aku masih berada di kantor, sesak napas ayah kambuh dan dia kembali membawanya ke rumah sakit. Aku berharap bisa ikut tapi pekerjaanku tidak bisa ditinggalkan.
"Edwin membawanya ke rumah sakit, aku sangat takut Ad, bagimana jika—"
"Sttss ... Mom, jangan berpikiran buruk, Dad akan baik-baik saja." Aku menghampiri ibuku, memeluknya dengan erat. Berharap aku bisa menghapus ketakutannya.
Sudah beberapa bulan terakhir kondisi ayah tidak terlalu baik, kami telah membawanya untuk berobat dan diagnosa terakhir, dokter bilang ada noda di paru-paru. Perlu pemeriksaan yang lebih lanjut untuk memastikan dan kami masih berharap yang terbaik.
"Apakah kamu sudah makan, Mom? Jangan sampai kamu ikut sakit," ucapku khawatir, ibuku menggeleng terlihat muram.
"Tidak nafsu makan," jawabnya dan sebenarnya aku juga tidak.
"Tetap saja kamu harus makan atau kamu akan sakit, Mom, di mana Nessa?"
Aku berjalan ke dapur, menyalakan kompor untuk memasak telur karena itu cepat dan sederhana. Aku tidak pernah menjadi koki terbaik tapi dalam keadaan seperti ini kurasa itu tidak masalah. Aku mengambil wajan dan meletakkannya di atas kompor, menambahkan minyak sebelum memecahkan telur.
Begitu aku selesai membuat telur mata sapi dan menambahkan nasi ke piring aku membawanya pada ibuku. "Makan, biarkan aku yang mengajak, Alina."
Aku mengulurkan tangan pada gadis kecil yang masih berusia dua tahun itu, menggendongnya sementara ibuku makan. Aku mengambil ponsel dari sakuku, mencoba menghubungi kakakku, tapi setelah beberapa kali tidak dijawab itu membuatku semakin khawatir. Aku tidak ingin memikirkan hal buruk takut itu akan menjadi kenyataan, tapi begitu sulit untuk mempertahankan pikiran positif.
Duduk di teras, aku memperhatikan langit yang semakin gelap, bintang-bintang tidak terlalu terlihat karena polusi cahaya di kota tapi bulan terlihat cukup terang tergantung di bentang gelap tak berujung. Keponakanku terlelap di pelukanku dan aku mencium pelipisnya, menghirup aroma bayi yang sedikit membuatku relaks.
Akhirnya ponselku bergetar dan aku langsung mengangkatnya saat melihat Id penelepon yang tertera di layar. "Bagaimana dengan Dad?"
Jeda singkat sebelum suara lelah kakakku terdengar dari ujung lain sambungan. "Dokter bilang untuk rawat jalan, kondisi paru-parunya tidak baik, tapi jangan beri tahu Mom, tidak ingin dia makin khawatir."
Aku mengangguk mengerti, hatiku sendiri meremas dengan menyakitkan. "Seberapa buruk?"
"Ada cairan di paru-paru, membutuhkan operasi."
"Lalu mengapa tidak dilakukan operasi? Mengapa malah rawat jalan?" Aku merendahkan suaraku, tidak ingin ibuku mendengar percakapan ini.
"Masih dijadwalkan dan itu tidak murah Ad, asuransi kesehatan juga tidak menutupnya," balas kakakku semakin membuat hatiku tenggelam.
"Jadi kalian dalam perjalanan pulang sekarang?"
"Masih harus mengantre untuk mengambil resep obat. Bagimana dengan Mom? Dia sangat ketakutan saat meneleponku karena Dad sesak napas."
"Mom khawatir tapi aku sudah menyuruhnya makan, mengapa ini terjadi pada keluarga kita, Edwin? Aku merasa seperti Tuhan tidak adil."
"Jangan bicara seperti itu."
"Maaf, tapi begitu banyak hal buruk terjadi dan aku tidak tahan," desahku, mataku terasa panas saat air mata mulai berkumpul dan saat berikutnya aku berkedip satu jatuh pipiku.
"Aku tahu Ad, tapi kita harus tetap kuat. Kamu harus, siapa yang akan menjaga Mom kalau kamu ikut berantakan?" Suaranya melembut dan jika Edwin di sini dia akan memelukku.
"Kamu benar, aku tidak bisa berantakan, omong-omong Alina sudah tidur, aku akan membaringkannya."
"Oke," ucapnya dan sambungan itu terputus. Aku kembali masuk, ibuku sudah mencuci piring kotornya di wastafel.
"Mom biarkan saja, aku bisa mencucinya nanti," tegurku, berjalan melewatinya untuk membawa Alina ke kamar dan membaringkannya.
"Tidak apa-apa, aku perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Kamu juga belum makan bukan?"
Aku mengangguk dan duduk di meja makan. "Edwin barusan telepon, dokter bilang untuk rawat jalan mereka akan segera sampai setelah mengambil obat."
"Itu artinya bagus bukan? Itu artinya kondisi Dad tidak buruk?"
Aku terdiam sedetik di sana, sebelum kepalaku mengangguk. "Ya, Dad akan baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir."
Perlu seluruh perjuangan bagiku untuk tidak menangis di sana, bagimana aku tidak mengatakan kebenaran dan harus menyimpannya untuk diriku sendiri. Tidak tahan dengan hatiku yang semakin meremas aku akhirnya berdiri dari meja makan. "Aku akan mandi dulu."
Aku tidak mendengar apa jawaban ibuku saat aku melarikan diri ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, aku menyalakan keran dan jatuh ke lantai kamar mandi. Memulai isak tangisku yang tidak terbendung.
Ketakutan dan kemarahan pada kehidupan membuat tenggorokanku sesak. Aku ingin berteriak dan menyalahkan Tuhan, mengapa dia melakukan ini padaku? Tanganku meremas hingga buku-buku jariku memutih, isak yang terendam saat air mata panas jatuh tak terhitung ke pipiku.
Aku membiarkan air dingin mengguyurku, menghapus sisa air mata yang seharusnya tidak dilihat oleh siapa pun. Aku harus kuat, perlu menjadi kuat untuk orang-orang yang aku cintai tapi siapa yang akan menjadi kuat untukku? Siapa yang akan memeluk dan mengatakan kebohongan tentang semuanya akan baik-baik saja meskipun tidak? Karena aku juga membutuhkannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
When Your Soul Tries to Drag You Down
RomansaBerumur hampir genap dua puluh tiga tahun, Addison Spring tidak tahu apa-apa tentang romansa. Namun itu tidak akan bertahan lebih lama lagi. Saat ayahnya kehilang pekerjaan, Addison tidak memiliki pilihan selain mempertahankan pekerjaannya sendiri...