Prolog

1.6K 358 68
                                    

Heyhoooo
Terima kasih sudah suwabar sekali menunggu update.
Mood aku lagi bawaan mager. Huhuhu.
Selamat membacaaa. Yang sabar ajah pokoknya ya, Maaak. Semoga naskah ini bisa tuntas sampai tamat dan gak mangkrak di tengah jalan.

Jangan lupa like dan komen yaaa. komen kalian penyemangatku.

***

"Kamu masih writer's block, Ge?" Mala bertanya hati-hati, saat mereka makan siang bersama di pujasera samping kantor.

"Masih Mak, masih mager dan gak punya ide apapun. Sayang banget sebenarnya, padahal bisa dapat tambahan cuan." Gea terkekeh. Mengaduk es jeruk miliknya, lalu meneguknya hingga sisa setengah. Mie ayam ceker dan es jeruk memang kombinasi makan siang yang sempurna bagi Gea, di cuaca panas seperti ini.

"Mungkin dengan memulai hubungan baru, bisa mengembalikan gairah menulismu, Ge. Mau kukenalin sama temannya Mas Mada?" Mala menepikan mangkuk mie ayamnya dan melipat kedua tangan di atas meja. "Kapan hari, ada temannya yang minta tolong dicarikan calon istri. Rekan satu bidangnya di kantor. Pegawai BUMN dengan karir bagus. Gimana?" Mada adalah suami Mala.

Ge meringis, dan menggeleng pelan. "Makasih lho. Tapi, enggak dulu."

"Kenalan dulu. Anggap saja fit and proper test. Cocok ya lanjut, gak cocok ya jadi teman."

Ge terdiam, seperti menimang-nimang tawaran itu.

"Lumayan juga lho orangnya." Mala masih mengiming-ngimingkan tawarannya, karena kebetulan dia cukup mengenal seperti apa teman suaminya yang satu itu. Menurutnya, Ge akan cocok jika berkenalan. Apalagi, jika berhasil membuka hati. Konon katanya, obat patah hati adalah dengan membuka hati pada orang baru.

"Aku pikir-pikir dulu ya."

Jawaban itu kurang memuaskan bagi Mala. Namun, sebagai sahabat, dia memilih mengangguk dan tidak memaksakan kehendaknya. Memutuskan membuka hati atau tidak adalah urusan Ge. Dia hanya memberikan masukan dan tawaran.

"Aku enggak menutup hati, kok." Ge menambahkan jawabannya. "Aku hanya butuh waktu untuk berdamai dengan perasaanku sendiri, sampai akhirnya nanti siap membuka lembaran baru. Ya kali, terus-terusan menangisi pria hidung zebra seperti dia."

"Rugi, ge." Mala tertawa.

"Sangat." Ge meringis. Mulut boleh bilang rugi, tapi hati masih merasakan desir sakit hati. Padahal kejadiannya sudah setahun lebih, tetap saja masih ada sisa luka yang belum hilang sepenuhnya. Luka yang membuatnya kehilangan gairah romansa dan memilih berhenti menulis.

Andryan Hutomo. Pria sepantaran yang menjadi kekasihnya sejak kuliah sampai usia tiga puluh tahun. Hubungan yang terjalin hampir 10 tahun itu kandas begitu saja. Seperti tepian pantai yang terkena abrasi.

Keluarga besarnya bilang, kalau sudah serius, sama-sama mapan, sama-sama matang, kenapa harus menunda-nunda? Nanti malah gak jadi. Dan ternyata, nasehat itu benar adanya. Di usianya yang ketiga puluh tahun, Ge justru mendapatkan kejutan luar biasa.

Boro-boro makan malam dengan lilin romantis diiringi musik jaz yang lembut, lalu ditutup dengan kejutan cincin berlian yang indah di dalam potongan kue, seperti cerita fiksi yang pernah ditulisnya. Dia justru dibuat terkejut setengah mati, saat melihat Ryan bersama wanita lain di dalam apartemen. Tanpa busana. Tiga jam sebelum rencana makan malam mereka.

Ah, sudah setahun lebih kejadiannya. Tetap saja, bayangan menjijikkan itu belum hilang sepenuhnya.

"Lakukan apa yang membuatmu happy, Ge." Nasehat Mala mengembalikan ingatannya dari masa lalu. "Biarin semuanya mengalir. Yang namanya hati memang gak bisa dipaksa. Tapi, kapanpun kamu siap memulai lagi, jangan sungkan minta tolong padaku. Stok teman Mas Mada yang ijo royo-royo banyaaak. Nanti aku seleksi dulu, sebelum kukenalin sama kamu."

Desimal & Bujur SangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang