Chapter 1: A Strange Awakening

48 6 0
                                    

Malam itu, Eyin menghabiskan waktu menulis surat penggemar yang penuh dengan harapan. Ia mendesah panjang, membayangkan betapa serunya hidup di dunia para bajak laut itu.

"Sumpah, coba aja ya semesta dengerin doa gua kali ini… biar bisa ketemu sama semua kru mugiwara," gumamnya sambil menatap suratnya dan layar laptopnya yang sedang memutar salah satu episode series one piece dengan senyum penuh impian. Tanpa sadar, matanya semakin berat, dan dalam hitungan detik, ia sudah tertidur pulas dengan surat di tangan, masih memikirkan keinginan gilanya itu.

Eyin mengeliat, sedikit kesulitan membuka mata yang masih berat. Napasnya menggantung, setengah kaget. Udara dingin dan asin menerpa wajahnya, membuatnya sadar bahwa ini bukan kamar yang biasa ia tinggali. Ketika akhirnya ia bisa melihat dengan jelas, hal pertama yang disadarinya adalah laut yang membentang, diiringi dengan aroma asin yang kuat dan suara burung camar berterbangan di sekitar.

"Eh...?" gumamnya bingung, menggaruk-garuk kepala. 'Ini bukan mimpi, kan? Gila, tempat apa ini?' Ia menggigit bibirnya, berusaha mengingat-ingat. Terakhir kali ia ingat, ia hanya sedang menonton One Piece sambil membaca fanletter favoritnya di ranjang. Eyin meringis. 'Apa gue kebanyakan nonton sampe halu gini?'

Pikirannya berkecamuk antara tidak percaya dan kagum. Pelabuhan yang begitu mirip dengan latar di One Piece ini terlalu nyata untuk hanya sekadar halusinasi atau mimpi. Ia berusaha duduk dan merasakan pasir lembut di bawah tangannya. 'Oke, ini beneran pasir… tapi kenapa gue bisa di sini?' Eyin terdiam sejenak, membiarkan kenyataan aneh ini mulai masuk akal dalam kepalanya.

Di tengah keheranannya, ia merasakan benda di sakunya. Dengan cepat, ia mengeluarkannya, dan... ponselnya! Layar masih menyala. 'Wah, gila ini! HP gue kebawa? Beneran bisa nyala lagi!' Dengan mata berbinar, ia segera mengecek ponsel itu lebih jauh. Kamera? Masih berfungsi dengan sempurna. Namun, saat mencoba membuka aplikasi sosial, ia langsung kecewa. Semua aplikasi menampilkan pesan error atau tidak bisa dimuat.

“Yaelah, nggak bisa buka sosmed sama sekali,” keluhnya, mendesah panjang. “Gila, gue beneran nggak bisa komunikasi sama siapa-siapa di sini, ya?”

Meskipun kecewa, ia mencoba menerima kenyataan ini. 'Ya, wajar sih, nggak ada internet di sini… lagian siapa juga yang mau gue chat?' Tapi kemudian ia menyadari bahwa ponsel ini terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Penasaran, ia memeriksa bagian belakang casingnya dan menemukan 15 lembar kertas persegi panjang. Saat diperhatikan lebih detail, kertas itu adalah mata uang dunia One Piece, Berry.

“Anjir, Berry?! 10.000 pula!” Eyin berseru tertahan, membungkam mulutnya dengan cepat. 'Wah, jadi gue beneran bawa duit asli dari dunia ini?'

Sedikit terkejut tapi senang, ia mulai menyesuaikan diri dengan situasi ini. Meskipun aneh, Eyin merasa beruntung punya uang untuk bertahan. Saat matanya berkeliling, ia mulai menyadari betapa nyata suasana ini—laut biru yang luas, langit cerah, dan sebuah pelabuhan sederhana.

"Ini beneran mirip banget sama East Blue… kayaknya gue di tempat yang deket sama awal cerita Luffy," pikirnya. Apa ini Pulau Dawn?

Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba seorang pria paruh baya berambut kusut mendekatinya. Tatapan pria itu tampak cemas namun penuh rasa ingin tahu.

“Anak muda, kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu tersesat,” sapanya dengan nada khawatir.

“Oh… iya, aku... aku baik-baik saja, Pak. Terima kasih,” jawab Eyin sambil sedikit gugup, berusaha terlihat normal. Secara refleks, ia menyembunyikan ponselnya di saku celana, memastikan tak ada yang bisa melihat benda asing itu.

Pria tersebut, yang akhirnya mengenalkan diri sebagai Wergon, terlihat menatap Eyin dengan tatapan penuh perhatian. “Apa kamu yakin? Pakaianmu terlihat cukup lusuh, seolah-olah kamu sudah berkelana jauh.”

“Oh, iya... ini, heh, saya cuma ketiduran di jalan aja, Pak,” balasnya cepat, berusaha mengelak.

Namun, setelah beberapa saat, Eyin jadi semakin penasaran. 'Ini beneran dunia One Piece, kan? Gue di East Blue, kan? Tapi... ini udah waktunya Luffy mulai berpetualang atau belum ya?'

Akhirnya, dengan sedikit ragu, ia memberanikan diri bertanya kepada Wergon. “Pak, boleh tanya? Apa Anda tahu soal anak bernama Luffy? Anak yang bercita-cita jadi raja bajak laut?”

Wergon mengangkat alisnya, agak terkejut mendengar pertanyaan itu. “Ah, kau bicara soal Luffy? Bocah itu baru saja berumur 15 tahun belum lama ini. Dia masih sering terlihat berlarian di sekitar desa bersama anak-anak lainnya,” jawabnya santai.

'Wah, fix banget ini gue ada di masa sebelum Luffy memulai petualangannya!' Dalam hati, Eyin langsung merasa girang luar biasa. 'Gue beneran bisa lihat momen-momen awal kayak di anime!'

Setelah berterima kasih kepada Wergon, Eyin melangkah pergi dari pelabuhan, mencoba mencari tempat lebih tenang. Di tengah perjalanan, ia masih terpukau oleh kenyataan bahwa ia benar-benar di dunia One Piece.

'Gila, berarti sekarang gue punya dua tahun sebelum Luffy mulai petualangannya. Gue bisa belajar bertahan hidup dulu di sini! Keren banget, kayak di isekai!' Dalam hati, Eyin sudah membayangkan berbagai hal seru yang mungkin akan ia alami. Tapi kenyataan pahit juga menghantui pikirannya. 'Yah, tapi nggak ada sosmed buat pamer... Gue sendirian di sini, cok.'

Saat berjalan menjauh, pikirannya kembali ke desa yang sempat disebut Wergon, desa Foosha. Namun, semakin lama ia berjalan, ia malah makin bingung. 'Wait... desa Foosha tuh di mana ya?' Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan kembali ke Wergon untuk bertanya lebih lanjut.

Tak lama, ia berbalik arah dan kembali menghampiri Wergon yang masih berdiri di dermaga. “Maaf, Pak Wergon,” katanya, kali ini dengan nada lebih sopan. “Bisa kasih tahu arah ke desa Foosha?”

Wergon tertawa kecil melihat kebingungan Eyin. “Desa Foosha ya? Mudah saja. Kau hanya perlu mengikuti jalan setapak ini ke arah selatan sampai kau melihat ladang terbuka. Dari sana, ikuti jalan setapak lagi ke desa.”

“Oh... Terima kasih, Pak!” ujar Eyin, tersenyum lebar penuh semangat.

Di tengah jalan, ia merasakan ada rasa keterikatan mendalam dengan dunia ini. Meskipun baru beberapa saat, ia sudah merasa sangat hidup di sini, seperti benar-benar menjadi bagian dari dunia ini. Sambil berjalan, ia mengambil ponselnya lagi, memastikan kamera masih berfungsi dengan baik. Meskipun aplikasi sosialnya tidak berguna, kamera ponsel itu akan menjadi alat yang sangat berharga untuk merekam kenangan dan momen-momen menarik yang ia lihat.

'Yah, siapa tahu, suatu hari nanti gue bisa nunjukin semua ini ke orang-orang di rumah… kalau gue bisa balik, sih.' Pandangannya tertuju pada layar ponselnya, terlihat jelas sedikit kesedihan di matanya. Dia sedikit teringat teman-temannya, chat grup yang selalu ramai, atau meme-meme kocak yang biasa dia kirimkan. Semua itu kini terasa jauh dan mustahil untuk dicapai.

Namun, setelah menghela napas panjang, Eyin mencoba tersenyum lagi. 'Ah, yaudah lah… anggep aja liburan dari sosmed. Mending fokus nikmatin apa yang ada di sini!'

Begitu ia akhirnya mendekati desa, suasananya terlihat tenang dan damai. Ia melihat beberapa penduduk sibuk dengan aktivitas mereka, dan anak-anak kecil yang berlarian di sekitar. Ia sempat merasa sedikit terharu. Semua pemandangan ini benar-benar persis seperti yang ia tonton di layar kaca. Bahkan lebih hidup dan penuh warna.

Eyin menarik napas panjang, tersenyum lebar sambil memandangi desa dari kejauhan. Di tengah keterasingan, ada rasa puas yang aneh, seperti menemukan rumah baru yang selalu ia idam-idamkan.

Dalam hatinya, ia bersumpah, 'Oke, jadi sekarang gue cuma pengamat di sini. Gue akan amati dan nikmati semua ini tanpa ikut campur.' Meskipun begitu, ia tahu ini hanya awal dari petualangannya.

╭⊰ 𝐎𝐁𝐒𝐄𝐑𝐕𝐄𝐑 ⊱╮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang