Setelah perbincangan dengan Wergon, Eyin berjalan memasuki desa Foosha dengan berbekal uang Berry yang ia temukan dalam saku ponselnya. Tatapannya menyapu sekitar, matanya menangkap setiap detail desa yang begitu hidup. Eyin tidak terlalu memikirkan asal usul uang itu; baginya, yang terpenting adalah uang tersebut nyata dan bisa ia gunakan.
Ia melirik salah satu uang kertas Berry yang berangka "10.000." 'Lumayan besar, nih. Semoga cukup buat beli pakaian dan beberapa perlengkapan.' Sejujurnya, Eyin tak tahu nilai pastinya dalam dunia ini, tapi melihat betapa terkejutnya beberapa warga yang melirik uang itu sekilas, ia yakin uang ini lebih dari cukup.
Dengan langkah penuh percaya diri, ia menyusuri jalan setapak yang mengarah ke pasar desa. Beberapa toko berjajar rapi di pinggir jalan, masing-masing memajang pakaian yang khas dan sederhana, dengan palet warna yang cenderung netral-persis seperti yang sering ia lihat di anime.
Eyin mendekati salah satu toko yang tampak ramai dengan berbagai pakaian yang tergantung. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin pemilik toko, menyambutnya dengan senyum ramah.
"Selamat datang, anak muda. Ada yang bisa kubantu?" tanya wanita itu dengan lembut.
"Oh, iya, Bu," jawab Eyin sambil melihat-lihat pakaian yang tergantung di rak. "Aku mau beli beberapa setelan baju dan mungkin... ransel juga, kalau ada."
Wanita itu mengangguk paham, lalu menunjukkan beberapa pakaian dengan model sederhana tapi nyaman, cocok untuk perjalanan. Eyin memilih beberapa pakaian praktis berwarna gelap-cocok untuk menyamar jika diperlukan. Ia juga menemukan sebuah ransel yang tampak kuat dan cukup besar untuk membawa perlengkapan yang akan ia butuhkan selama tinggal di sini.
"Berapa semuanya, Bu?" tanya Eyin setelah selesai memilih.
Pemilik toko itu melihat pakaian dan ransel yang dipilih Eyin, menghitungnya dengan teliti. "Totalnya 8.500 Berry, anak muda."
Eyin sedikit terkejut. 'Wah gile, ternyata Berry 10.000 bisa dapet sebanyak ini?' Ia menganggukkan kepala dan menyerahkan uang kertas itu dengan senyum lega. Wanita itu memberikan kembaliannya dan membungkus barang-barang tersebut dengan rapi, menaruhnya dalam ransel baru Eyin.
"Terima kasih banyak, Bu," ujar Eyin sambil tersenyum ramah, kemudian melangkah keluar toko.
Dengan ransel baru berisi pakaian dan beberapa perlengkapan dasar, Eyin melangkah lebih jauh ke dalam desa, mencari tempat makan untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Matanya menangkap sebuah kedai makanan sederhana dengan aroma sedap yang menyeruak dari dalam. Tanpa pikir panjang, ia masuk ke dalam kedai dan duduk di salah satu bangku kayu yang ada di pojok.
"Selamat datang! Mau pesan apa, Nona?" tanya seorang pelayan muda dengan senyum ramah.
Eyin membuka menu dan melihat-lihat pilihan makanan yang ada. Dari namanya, ia menduga banyak hidangan khas daerah pesisir-sup ikan, nasi, dan beberapa lauk lainnya yang sederhana.
"Aku mau seporsi nasi dengan sup ikan dan sedikit lauk, ya," jawab Eyin mantap. Ia berharap harganya tidak terlalu mahal, karena uang yang tersisa tidak terlalu banyak.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa makanan pesanan Eyin. Aroma gurih dari sup ikan dan nasi yang baru matang langsung menggugah seleranya. Tanpa menunggu lama, ia segera menyantap hidangan itu. Rasa sup ikan yang lezat memenuhi lidahnya, dan sejenak ia merasa berada di rumah. 'Ini makanan sederhana, tapi enak banget!'
Usai makan, Eyin merasa kenyang dan puas. Ia membayar dengan beberapa Berry yang tersisa di sakunya, lalu keluar dari kedai dengan hati yang lebih tenang. Sambil melangkah keluar, Eyin memutuskan untuk bersantai sejenak di pelabuhan. Ia merasa butuh waktu untuk merenung dan menyusun rencana ke depan.
---
Di pelabuhan, Eyin duduk di salah satu dermaga kayu, memandangi ombak yang tenang. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang khas. 'Oke, gue sekarang di dunia One Piece, dan ada waktu dua tahun sebelum Luffy mulai petualangannya,' pikirnya, mencoba menenangkan diri.
Selama dua tahun ini, ia sadar bahwa ia harus memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. 'Gue nggak mungkin cuma duduk-duduk nungguin cerita berjalan sendiri. Gue harus siap. Minimal kalau ada situasi berbahaya, gue bisa kabur atau ngelawan sedikit, kan?' Ia menguatkan hatinya.
Bahkan, jika mungkin, Eyin ingin punya kapal sendiri untuk bisa mengikuti Luffy dan kru Mugiwara dari jarak aman. Ia teringat betapa keren kapal selam milik Trafalgar Law, dan berpikir untuk membuat versi kecil dari kapal itu. Tapi ya, untuk itu dia butuh duit banyak dan persiapan matang.
Pikirannya terhenti saat ia teringat Wergon. 'Ah, bener juga, mungkin Wergon bisa bantu cariin tempat tinggal sementara dan kerja sambilan. Gue nggak bisa ngandelin uang di ponsel terus...'
Setelah menghabiskan beberapa saat menikmati suasana pelabuhan, Eyin beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mencari Wergon. Pria tua itu sedang sibuk di pasar ikan, memeriksa hasil tangkapannya dengan hati-hati.
"Pak Wergon!" panggil Eyin sambil menghampiri.
Wergon menoleh, sedikit kaget melihat Eyin kembali. "Oh, hai, anak muda. Ada yang bisa kubantu lagi?"
Eyin tersenyum ragu, "Sebenarnya, saya butuh bantuan, Pak. Saya mau cari tempat tinggal sementara di desa ini... yang dekat pelabuhan, kalau bisa. Selain itu, kalau ada pekerjaan yang bisa saya lakukan, saya juga butuh supaya bisa menabung untuk bekal nantinya."
Wergon mengangguk pelan, berpikir sejenak. "Hmm, kebetulan ada satu rumah kontrakan kecil di dekat pelabuhan. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman dan pemandangannya langsung menghadap laut."
"Oh, itu sempurna, Pak!" jawab Eyin dengan semangat. "Dan soal pekerjaan... apa ada yang bisa saya bantu di sini?"
Wergon tersenyum ramah. "Tentu saja. Kalau kamu tak keberatan, kamu bisa membantu saya memancing dan menjual ikan di pasar. Penghasilannya mungkin tidak besar, tapi cukup untuk hidup sederhana."
Eyin mengangguk penuh semangat. "Setuju, Pak. Itu sudah lebih dari cukup buat saya. Lagipula, saya juga butuh belajar lebih banyak tentang cara bertahan hidup di sini."
---
Setelah mengatur semuanya, Eyin pindah ke rumah kontrakan yang ditunjukkan Wergon. Rumah itu terletak di tepi pelabuhan, dengan pemandangan laut yang indah dari jendela kamar. Ia bisa melihat perahu-perahu nelayan berlabuh setiap pagi dan mendengar suara deburan ombak yang menenangkan.
Eyin tersenyum puas. Bukan rumah yang mewah, tapi nyaman dan dekat sama pelabuhan. 'Cocok nih buat gue yang pengen mandiri di dunia ini. Pagi-pagi atau sore-sore disini ngeteh sambil makan biskuit enak kali ye.'
Hari-hari berikutnya, Eyin mulai menjalani rutinitas barunya. Ia membantu Wergon memancing ikan dan menjualnya di pasar. Awalnya, pekerjaan itu cukup melelahkan, tapi ia mulai terbiasa dan menemukan kesenangan tersendiri. Setiap kali bekerja, ia selalu membawa ponselnya dan mengabadikan momen-momen di laut-meskipun ia tahu tidak akan ada yang melihat fotonya selain dirinya sendiri.
Selain bekerja, Eyin juga mulai melatih fisiknya. Ia melakukan latihan dasar setiap pagi dan mulai belajar teknik bertarung sederhana dari beberapa penduduk yang berpengalaman. Latihan ini membuat tubuhnya semakin kuat, dan ia merasa lebih percaya diri setiap hari.
Ia juga menyempatkan diri merawat lukanya setiap malam. Luka di lutut dan sikunya sering membuatnya sedikit kesulitan bergerak, tapi ia bertekad untuk tidak menyerah. Baginya, ini adalah bagian dari perjuangannya di dunia ini.
Dua bulan berlalu, dan Eyin mulai merasa semakin betah di desa Foosha. Ia menabung sedikit demi sedikit, merencanakan setiap langkah ke depannya dengan hati-hati. Setiap malam, ia berdiri di dermaga, memandangi laut sambil merenungkan apa yang akan ia lakukan ketika Luffy akhirnya memulai perjalanannya.
Dalam hati, ia merasa bangga dengan dirinya sendiri. Meskipun sendirian di dunia asing ini, ia berhasil bertahan dan menyesuaikan diri. Petualangan ini baru dimulai, dan dia nggak sabar buat ngeliat apa yang bakal terjadi selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
╭⊰ 𝐎𝐁𝐒𝐄𝐑𝐕𝐄𝐑 ⊱╮
FanfictionOne Piece x F!OC CW // HW (Harsh Words) ________________________________ Juliette Shein, seorang gadis SMP yang biasa dipanggil Eyin, hanyalah penggemar setia dunia One Piece yang tak pernah bosan membayangkan bagaimana rasanya bertemu langsung deng...