Pagi itu, fajar baru saja menyingsing di desa Foosha, dan udara dingin masih menyelimuti perairan. Shein terbangun lebih awal dari biasanya, sekitar pukul lima pagi, di kontrakannya yang berada di pinggir pelabuhan. Kontrakan mungil itu memiliki pemandangan langsung ke laut, sesuatu yang selalu membuatnya merasa tenang. Ia berdiri sejenak di depan jendela, melihat cahaya matahari mulai menyentuh air, memberikan kilauan lembut di permukaan.
Dengan semangat yang bercampur haru, Shein memastikan semua barangnya sudah siap. Dia melangkah keluar dari kontrakan, berjalan menuju kedai makanan yang buka pagi-pagi. Di kedai, Shein menikmati semangkuk bubur hangat dengan lauk sederhana. Setiap suap terasa lebih bermakna dari biasanya, seolah ini adalah sarapan perpisahan dengan rutinitasnya di desa Foosha. 'Bubur terakhir di sini… entah kapan bisa makan lagi,' pikirnya sambil tersenyum kecil.
Selesai makan, Shein melangkah menuju rumah Pak Wergon di bagian pedesaan. Meskipun mereka tidak tinggal bersama, Pak Wergon selalu menjadi sosok yang dekat dan mendukungnya sejak ia tiba di sini. Ketika sampai, Wergon sudah menunggunya di depan pintu. Ia menyambut Shein dengan senyum hangat, mengetahui bahwa hari ini adalah saat yang penting. "Sudah siap, Juliette?" tanyanya lembut, seolah membaca kekhawatiran yang tersirat di wajah Shein.
"Siap, Pak Wergon. Terima kasih atas semua bantuannya," jawab Shein, mencoba menahan rasa gugup. Dalam hatinya, ia bergumam, 'Hah, ini kayak perpisahan beneran aja. Padahal cuma mau ngikutin petualangan orang, bukan ikut berlayar…' Meskipun demikian, Shein merasa beruntung punya sosok seperti Wergon yang mendukungnya sepenuh hati.
Wergon menepuk bahunya, memberikan dorongan terakhir. "Hati-hati, ya, dan ingat, kau selalu punya tempat untuk pulang," ucap Wergon. Kata-katanya membuat Shein merasa sedikit emosional, namun ia mengangguk tegas. Setelah berpamitan, Shein bergegas kembali ke pelabuhan.
Sampai di pelabuhan, kapal selam miliknya yang berwarna navy sudah siap menanti. Desain kapal itu memang ringkas namun terlihat kokoh, dengan warna biru gelap yang membuatnya samar di air. Ketika Shein memasuki kapal, matanya mengitari interiornya, merasakan kebanggaan yang sulit disembunyikan. 'Wow, keren juga kapal gue. Kecil tapi canggih, dan kayaknya cukup buat bertahan lama.' Meskipun ia sudah familiar dengan setiap sudutnya, hari ini rasanya berbeda. Kapal ini adalah simbol kebebasannya untuk menjelajahi dunia One Piece sebagai penonton, sesuatu yang selama ini hanya ia impikan.
Namun, ketika hendak mengaktifkan kapal, kecerobohannya tiba-tiba muncul. Shein menekan tombol dengan asal, hingga tiba-tiba alarm keras berbunyi. "Eh? Apaan nih? Kok jadi ribut begini?" gerutunya panik, sembari mencoba mematikan alarm dengan asal menekan tombol lainnya. Setelah beberapa kali mencoba, alarm akhirnya berhenti, dan mode autopilot aktif. Shein menghela napas lega, meski sedikit malu pada dirinya sendiri. "Hah… untung kaga meledak. Gila, hampir aja gua mati konyol bahkan sebelum mulai."
Kapal selam mulai bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan. Dengan autopilot aktif, Shein memutuskan untuk tidur sebentar di ruang tidurnya. "Oke, autopilot aktif. Boleh lah tidur bentar… perjalanan pasti lama," ujarnya pada dirinya sendiri, merebahkan tubuh di kasur kecil yang sudah disiapkan. Rasanya aneh tapi menyenangkan, ia merasa seperti seorang petualang sungguhan.
Beberapa jam kemudian, Shein terbangun dan merasakan bahwa kapalnya sudah semakin dekat dengan tujuannya. Melalui jendela kapal, ia melihat hamparan laut yang luas. 'Lautnya beneran kayak nggak ada ujungnya… kayak di anime, tapi ini nyata.' Kagum sekaligus puas, Shein berusaha menikmati pemandangan laut sebelum akhirnya mencari tempat berlabuh yang cukup tersembunyi.
Setelah menambatkan kapal agak jauh dari keramaian pelabuhan, Shein segera melangkah keluar dan menuju ke sebuah lahan terbuka. Berdasarkan informasi yang ia dapat, Zoro — karakter yang sejak lama ia kagumi — sedang ditahan di sini. Ketika tiba, ia melihat pemandangan yang cukup dramatis: Zoro terikat pada tiang kayu besar di tengah lahan gersang, tubuhnya terentang, namun wajahnya tetap tenang meski dijemur di bawah terik matahari.
Mata Shein terpaku. 'Gila… ini real banget. Itu Zoro beneran, di depan mata!' Pikirannya mendadak dipenuhi rasa kagum yang sulit dijelaskan. Meski dalam keadaan diikat dan tampak kelelahan, Zoro tetap menampilkan kesan gagah. "Seriusan, dia lagi dijemur aja tetep kelihatan keren banget… Asli, jemuran paling ganteng ini sih." gumamnya.
Shein merasa hatinya berdebar-debar. Ia tidak bisa menahan senyum ketika melihat karisma Zoro yang kuat, bahkan dalam kondisi yang jauh dari ideal. 'Kalau orang biasa sih, pasti udah ngeluh atau nangis kali. Tapi Zoro mah beda,' pikirnya sambil tertawa kecil, menahan diri agar tidak melambai atau bahkan berteriak. Rasa fangirl dalam dirinya muncul, tetapi ia sadar betul bahwa dirinya harus tetap tenang.
Semakin lama ia melihat, semakin ia merasa kagum dan geli sendiri. "Ck... Zoro, gini-gini juga lo karismanya nggak pudar, ya?" bisiknya, nyaris tanpa sadar. Rasa kagumnya semakin bertambah, dan ia harus menahan dorongan untuk tidak memanggil namanya. 'Kocak banget, lagi diikat gini, tapi gue malah nge-fangirl,' pikirnya sambil nyengir.
Setelah cukup puas menikmati pemandangan Zoro dari kejauhan, Shein memutuskan untuk pergi ke kedai terdekat, berharap bisa mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai situasi di kota ini. Begitu ia melangkah masuk, ia langsung melihat sosok Helmeppo duduk di salah satu meja, sibuk minum dengan ekspresi arogan yang langsung membuat darah Shein naik. 'Ini dia… si nyebelin yang bikin kesel banyak orang,' pikirnya sambil menghela napas.
Naluri untuk mengintervensi mendesaknya, namun Shein tahu lebih baik tidak melibatkan diri. Ia mencoba menahan diri dari dorongan untuk mendekat dan berkata kasar. 'Aduh, gue pengen banget ngelempar dia pake gelas. Serius dah. Ni orang ngeselin banget?! Belum lagi muka songong ditambah dagunya yang kea biji itu-' gerutunya dalam hati. Setelah menenangkan diri dan memutuskan untuk tidak ribut, ia memilih pergi dari kedai sebelum benar-benar tergoda untuk bertindak.
Di luar, Shein berjalan santai ke arah pelabuhan, mencari tahu apakah Luffy dan Koby sudah tiba di pulau ini. Hatinya berdebar, membayangkan momen pertama kali ia akan melihat karakter favoritnya dengan mata kepala sendiri.
Setelah beberapa saat menunggu di sekitar pelabuhan, Shein kembali ke lahan tempat Zoro masih terikat. Ia mengamati sosok Zoro yang tetap tegap meski dalam keadaan terikat. Pemandangan itu benar-benar membuatnya kagum. 'Gokil… gimana bisa ya dia sekuat ini? Padahal posisi begini udah pasti bikin orang capek banget,' batinnya, terkagum-kagum.
Namun, di balik rasa kagumnya itu, Shein merasa campuran emosi aneh — antara kegilaan sebagai penggemar dan keinginan untuk membantu, meski ia tahu ini bukan waktunya. "Kalau nggak salah… bentar lagi pasti bakal ada yang nolongin dia kan," bisiknya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak gegabah. Ia tahu cerita Zoro dan Luffy akan segera dimulai, dan ia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi.
Waktu terus berlalu, dan Shein merasa siap untuk mengamati kejadian demi kejadian dari dekat. Baginya, ini bukan sekadar menonton, tapi hidup dalam dunia yang selama ini hanya ada di dalam manga. Setiap langkahnya terasa seperti melangkah dalam sejarah cerita yang ia cintai, meski ia tahu betul, dirinya harus tetap menjadi penonton yang tak terlihat. Sembari menunggu Luffy tiba, ia kembali ke kapalnya untuk beristirahat, bersiap menyaksikan babak baru yang akan segera terungkap di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
╭⊰ 𝐎𝐁𝐒𝐄𝐑𝐕𝐄𝐑 ⊱╮
FanficOne Piece x F!OC CW // HW (Harsh Words) ________________________________ Juliette Shein, seorang gadis SMP yang biasa dipanggil Eyin, hanyalah penggemar setia dunia One Piece yang tak pernah bosan membayangkan bagaimana rasanya bertemu langsung deng...