Aku bahagia tinggal di kastil ini. Saat ini aku merasa jauh lebih bahagia. Sudah lama aku pindah dari sekolah lama ku. Aku di tempatkan di sekolah baru. Aku merasa di sana jauh lebih nyaman. Meskipun aku belum memiliki teman dekat. Aku terlalu malu untuk mengajak seseorang untuk berteman. Dan sekarang aku tidak menaiki bus sekolah. Ayah rutin mengantar dan menjemput ku. Ayah tidak tahu jika aku ini gagap. Aku masih menyembunyikannya. Ketika ayah berbicara. Aku akan menjawabnya dengan mengangguk atau menggeleng saja. Biarlah ayah menganggap aku ini anak yang pemalu. Aku tidak mau di benci setelah ketahuan.
Aku begitu bahagia karena ayah begitu menyayangi ku. Ayah selalu datang untuk bermain bersama ku. Seperti saat ini. Aku dan ayah sedang bermain di halaman. Kami bermain lempar bola. Ibu bersama kami, dia duduk di kursi dan berteduh di bawah payung. Aku dan ayah bermain kejar tangkap. Aku yang berlari dan ayah yang bertugas untuk menangkap ku. Kami berdua tertawa lepas ketika ayah berhasil menangkap ku. Kami berputar-putar di atas rumput hijau.
Aku tidak pernah merasa sebagai ini.
Ayah penuh dengan keringat. Dan terlihat lelah. Seorang pria yang tingginya sama seperti ayah datang ke arah kami. Melihat kedatangannya ayah menurunkan ku. "Mocca, sudah cukup untuk mainnya. Ayah harus pergi bekerja. Kau bermain dengan ibu mu ya?"
Aku tersenyum mengangguk semangat. Ayah mengusap pipi ku. Dan ayah menghampiri ibu. Mereka berdua berciuman sebelum ayah pergi. Kata ibu, itu adalah sebuah ciuman adalah rasa cinta seseorang.
Aku ingin mencium ibu untuk menunjukkan rasa sayang ku seperti ayah. Tapi ibu menolaknya. Selalu seperti ini, Ibu menghindar setiap kali aku ingin menciumnya.
"A--aku sa--sayang i--ibu." Aku mengatakannya dengan suara kecil. Aku takut ada orang yang mendengarnya. "Ap--apa i--ibu s--sa--sayang padaku?"
"Kau bahagia Mocca?"
Tiba-tiba saja ibu menanyakan itu. "Te--tentu sa--saja i--ibu. A--aku ba--bahagia."
"Apa di sekolah mu ada seseorang yang berbuat jahat padamu lagi?"
Aku menggeleng lemah. Tidak ada yang berbuat jahat padaku lagi. Semua yang ku inginkan sudah ku dapatkan kecuali satu, Ibu. Aku belum mendapatkan ibu sepenuhnya. Atau mungkin tidak akan pernah. Yang terpenting ibu ada bersama ku.
"I--ibu, ji--jika na--nanti a--aku me--mengikuti lo--lomba la--lagi. Ap--apa i--ibu ma--mau da--datang be--bersama a--ayah?"
"Iya! Aku akan datang nanti bersama ayah mu."
"Ba--baiklah!" Ibu mengiyakan saja seperti dulu. Tapi aku tidak yakin jika ibu benar-benar datang.
"Kau berpikir jika aku ini berbohong lagi? Aku akan datang bersama ayah mu. Aku tidak berbohong."
Aku hanya menunjukkan senyum ku pada ibu. Aku tidak percaya pada ucapannya. Bukan sekali atau dua kali ibu berbohong.
Ice skating, aku sangat menyukai ice skating. Di sekolah lama ku. Aku sering mengikuti lomba untuk mewakili sekolah. Dan aku tidak pernah kalah. Pertama kali aku menyukai ice skating saat aku melihat seorang atlit ice skating perempuan di televisi. Dia yang begitu cantik dan menari di atas es dengan begitu lincah membuat ku teringin menjadi Seperti dirinya. Sesekali aku ingin ibu melihat ku menari di atas es.